Minggu, 25 September 2022

Jawaban Balik Atas Tanggapan Masalah Fitnah duduknya Allah di Atas Arsy bag III

Saudara Salman Ali mengatakan :

Ustaz al-katibiy telah melakukan satu lagi kesalahan yang besar apabila mendatangkan hujjah ini. Kaedah kritis mensyaratkan bahawa kesimpulan umum hanya boleh dilukis berdasarkan kajian induktif bukannya kenyataan seorang manusia. Begitu juga perkataan manusia difahami sebagaimana kenyataan itu diucapkan melainkan ada qarinah yang menunjukkan sebaliknya. Namun begitu kesalahan ini sering dilakukan oleh orang yang mempunyai kemahiran kritis yang tebatas. Mereka menganggap perkataan In Abdil Bar ini sebagai kesimpulan umum dari perndirian salaf, sama juga halnya dengan orang yang menganggap tafsiran al-Baihaqi sebagai kata putus dalam mentafsirkan kenyataan Abdullah bin Mubarak tentang nisbahkan had bagi Allah serta pandangan keras imam al-Syafi’e tentang sufi, begitu juga halnya dengan orang yang menganggap tafsiran Imam al-Tahawi sebagai maksud sebenar Abu Hanifah dalam masalah tauhid. Ini semua adalah contoh2 kelowongan dalam metod kritis.

Saya jawab :

Nampak siapa di sini yang tidak mengkaji secara induktif tentang persoalan ini. Setelah saya jelaskan sebelumnya, maka jelaslah bahwa atsar Mujahid banyak ditolak oleh ulama besar dengan berbagai macam hujjah yang kuat bukan hanya imam Abdul Barr saja, di sana ada al-Wahidi, al-fakhr ar-Raazi, Ibnul Mua’llim al-Qursayi, asy-Syaukani, adz-Dzahabi, as-Sayuthi, Albani dan lainnya. Apakah anda akan mengatakan para ulama besar ini berpaham jahmiyyah ?? imam Abdul Barr bukan lah orang bodoh yang tidak memahami persoalan ini. Kecuali jika pihak wahabi mengaku dirinya lebih paham dari imam Abdul Barr.

Untuk persoalan Abdullah bin Mubarak, imam Syafi’i dan imam Thahawi, maka tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan ucapan imam Abdul Barr dalam masalah ini. Dan saya tidak akan membahas persoalan al-Baihaqi yang mengoemntari hal itu secara ilmiyyah dan obejktif. Saya pun lebih memilih kajian al-Baihaqi dalam masalah-masalah itu ketimbang pernyataan saudara Salman Ali atau wahabi lainnya yang keilmuan al-Baihaqi tidak diragukan oleh para ulama sesudahnya ketimbang ulama salafi yang datang belakangan.

Salman Ali mengatakan :

Pihak ARG hanya fokus kepada at-Tabari tidak menjawab berkenaan ulama selain dari mereka seperti yang disebutkan dalam video.

Bukan Mujahid saja yang mensahihkannya bahkan telah disahihkan ramai ulama lainnya sehingga ada yang menyatakan tidak menolaknya melainkan jahmiyyah. Imam Marwadzi merupakan orang yang amat fanatik terhadap pendapat Mujahid ini dan mengarang kitab khusus untuk membela pendapat mujahid seperti yang disebutkan Ibnu Kathir Berikut ialah senarai sebahagian dari mereka yang mensahihkan riwayat ini, keseluruhan perbahasan tentang bab ini boleh didapati dari kitab al-Sunnah oleh Abu Bakar ibn Khallal Utsman bin Abi Syaibah :

حَكم مَن رَد هَذا اَلحديث أَن يَنفى ،َ لَا يَرد هَذا اَلحديث إَلا اَلزنادقة

-Hukuman keatas orang yang menolak hadith ini(Laits dari Mujahid) adalah dia dibuang negeri, tiada yang menolak hadith ini melainkan golongan zindiq –al-Sunnah oleh Abu bakar ibn Khallal)

Harun bin Maaruf :

»َ هَذا اَلحديث تَرده اَلزنادقة «
Inilah Hadith yang dibantah oleh golongn Zindiq

Ishak bin ibrahim rahawaih
»َ مَن رَد هَذا اَلحديث فَهو جَهمي «َ :َ قال إَسحاق بَن إَبراهيم بَن رَاهويه لَأبي عَلي اَلقوهستاني
Sesiapa yang menolak hadith ini ,maka dia merupakan Jahmi

Abu Bakar bin Hamad أبو
بَكر بَن حَماد :َ مَن ذَكرت عَنده هَذه اَلأحاديث فَسكت عَنها فَهو مَتهم ،َ فَكيف مَن رَدها وَطعن فَيها ،َ أَو تَكلم فَيها
Sesiapa yang disebutkan disisnya hadith-hadith ini lalu dia diamkan maka dia dituduh, bagaimana pula keadaan orang yang membantahnya dan mengkritiknya ataupun ebrkata-kata(yang buruk) tentangnya.

Ibn Mus’ab:
سمعت اَبن مَصعب ،َ قَرأ هَذه اَلْية :َ )َ عَسى أَن يَبعثك رَبك مَقاما مَحمودا قَال :َ نَعم ،َ يَقعده مَعه عَلى اَلعرش يَوم اَلقيامة ؛ََ
ليري اَلخلائق مَنزلته لَديهَ
Benar didudukkan disisi-Nya diatas Arash pada hari kiamat untuk menjadikan para makhluk melihat keududkannya disis Allah

Ibrahim al-Asbahani

وقال إَبراهيم اَلأصبهاني :َ هَذا اَلحديث صَحيح ثَبت ،َ حَدث بَه اَلعلماء مَنذ سَتين وَمائة سَنة ،َ لَا يَرده إَلا أَهل اَلبدع ،َ وَطعنَ
على مَن رَدهَ

Ini adalah hadith sahih dan tsabit. Para ulama telah menyampaikannya sejak lebih dari 60 tahun. Tidaklah ada yang menolaknya melainkan ahli bid’ah lalu dia mengkritik sesiapa yang menolak hadith ini.

Abu Qilabah

قال أَبو قَلابة :َ لَا يَرد هَذا إَلا أَهل اَلبدع وَالجهمية
Tidak ada yang menolak hadith ini melainkan Ahli bid’ah dan jahmiyah.

Al-JAziri

قيل لَلجريري :َ إَذا كَان عَلى كَرسي اَلرب فَهو مَعه ،َ قَال :َ نَعم ،َ وَزادني إَبراهيم اَلأصبهاني فَي هَذا اَلحديث ،َ عَن عَباسَ
بإسناده ،َ قَال :َ قَال اَلجريري :َ وَيحكم ،َ مَا فَي اَلدنيا حَديث أَقر لَعيني مَن هَذا اَلحديث

Ditanyakan kepadanya: jika Nabi berada diatas kursi Tuhan maka adakah dia berrsama tuhan. Lalu dia menjawab : ya Tiada diatas dunia ini perkataan yang leih menyejukan mataku dari hadith ini.

Abdullah bin Salam

هذا أَقر حَديث فَي اَلدنيا لَعيني
Inilah hadith yang paling menyejukkan mataku didunia Aswad bin Salim

Saya jawab :

Riwayat yang disebutkan oleh Salman Ali di atas tanpa menunjukkan sumber refrensi yang jelas, adalah berkaitan dengan kelompok jahmiyyah yang menolak ISTIWA Allah di atas Arsy juga sebagian kelompok yang menolak fadhilah kedudukan Nabi duduk di atas Arsy-Nya. Sedangkan tidak ada satu pun kelompok Asy’ariyyah yang menolak ISTIWA Allah di atas Arsy, hanya saja mereka menyerahkan makna ISTAWA kepada Allah sesuai kemuliaan dan keagungan sifat Allah tanpa takyif dan tasybih menurut salah satu metode Asy’ariyyah. Sebagaimana telah berlalu, bahwasanya Asya’riyyah tidaklah menolak mungkinnya duduknya Nabi di atas Arsy, sebab hal itu tidak mustahil terjadi dan juga tidak adanya nash sahih yang memustahilkan hal tersebut. Dan Asy’ariyyah menetapka sifat ISTIWA dengan dua metode yaitu TAFWDIH MAKNA WAL KAIFIYYAH dan TAKWIL TAFSHILI.

Maka yang ditahdzir oleh ulama yang menerima hadits Mujahid adalah kaum Jahmiyyah yang menolak ISTIWA Allah di atas Arsy, berbeda dengan Ays’ariyyah. Dan juga kaum zanadiqah yang menolak keutamaan Nabi mungkinnya duduk di atas Arsy.

Oleh sebab itu disebutkan dalam kitab al-Uluw al-Hafidz Azd-Ddzahabi :
أن الفقيه أبا بكر أحمد بن سليمان النجاد المحدث قال فيما نقله عنه القاضي أبو يعلى الفراء لو أن حالفا حلف بالطلاق ثلاثا أن الله يقعد محمدا على العرش واستفتاني لقلت له صدقت وبررت
“ Sesungguhnya al-Faqih Abu Bakar Ahmad bin Ssulaiman an-Najjad al-Muhaddits berkata : “ Seandainya seorang penyumpah bersumpah bahwa dia akan mentalak istrinya tiga kali dengan sumpah bahwa Allah mendudukan Muhammad di atas Arsy-Nya, dan meminta fatwa padaku, maka aku akan jawab : engkau benar “.

Maka adz-Ddzahabi menanggapinya :
فأبصر حفظك الله من الهوى كيف آل الغلو بهذا المحدث إلى وجوب الأخذ بأثر منكر واليوم فيردون الأحاديث الصريحة في العلو بل يحاول بعض الطغام أن يرد قوله تعالى الرحمن على العرش استوى
“ Maka sadarlah engkau –semoga Allah menjagamu dari hawa nafsu- bagaimana muhaddits ini begitu ghuluw (berlebihan) kepada wajibnya memegang atsar mungkar ini, hari ini mereka menolak hdits-hadits jelas tentang keluhuran Allah, bahkan sebgian pendurka merubah firman Allah Ta’aa : “ Sesungguhnya Allah ar-Rahman beristiwa di atas Arsy “.

Dalam kitab as-Sunnah karya al-Khallal sendiri menyebutkan :

وسمعت أبا داود يقول من أنكر هذا فهو عندنا متهم، وقال: ما زال الناس يحدثون بهذا يريدون مغايظة الجهمية وذلك أن الجهمية ينكرون أن على العرش شيء

“ Aku mendengar Abu Daud berkata : “ Barangsiapa yang mengingkari ini, maka dia bagi kami adalah patut dicurigai. Dan dia berkata : “ Para ulama senantiasa membawakan hadits ini, bertujuan untuk membuat murka kelompok jahmiyyah, kerana jahmiyyah, mengingkari bahwa di atas Arsy ada sesuatu “.

Al-Khallal juga mengatakan :

قرأت كتاب السنة بطرسوس مرات في المسجد الجامع وغيره سنين فلما كان في سنة اثنتين وتسعين قرأته في مسجد الجامع وقرأت فيه ذكر المقام المحمود فبلغني أن قوما ممن طرد إلى طرسوس من أصحاب الترمذي المبتدع أنكروه وردوا فضيلة رسول الله وأظهروا رده

“ Aku membaca kitab as-Sunnah di Thursus bebrapa kali di masjid Jami’ dan selainnya bertahun-tahun. Ketika tahun 92, aku membacanya di masjid Jami’ dan aku menyebutkan maqam mahmud. Lalu sampailah kabar padaku bahwa ada satu kaum yang diusir daro Thursus dari murid-murid at-Tirmidzi ahli bid’ah yang mengingkari keutamaan Rasulullah dan menampakkan penolakannya..”

Inilah yang dipahami dan dimaksud oleh para ulama atas pembelaan atsar Mujahid bukan sebagaimana dipahami kaum wahabi. Na’asnya mereka tidak jeli dan mungkin tidak paham ucapan para ulama tersebut.

Saudara Salman Ali mengatakan :

Secara langsung saya akan mengkritik dakwaan ustaz al-katibiy bahwa:

Ucapan ini dipopulerkan kembali oleh Ibnu Taimiyyah yang mengklaim (mengaku) telah diucapkan oleh para ulama yang diridhoi dan para wali yang diterima.

Ini adalah kritikan yang berpunca dari kegagalan membaca sumber-sumber ataupun sekadar melihat kepada penulisan ibn taimiyah dengan penuh kebencian. Ibn Taimiyah menulis banyak kitab sedangkan hadith ini hanya disebut sebanyak dua kali iaitu dalam majmu al-fatawa dan dar’u al-taarud. Bagaimana mungkin ini menjadi asas dakwaan ucapan ini dipopularkan oleh ibn taimiyah ,ini merupakan tuduhan tidak berasas. Sebagaimana ibn Taimiyah menyebutkan ucapan ini, begitu juga dengan ulama-ulama lain menyebutnya samada berrsetuju ataupun membantah.

Anataranya dikalangan mufassir dalam kitab mereka

1)al-Suyuti
2)Ibn Atiya’ al-Mharibi :
Dikalangan muhaddith 1)Ibn Hajar al-Asqalani

1)Ibn Hajar al-Asqalani
2)Badruddin al-Aini

Saya Jawab :

Saya berani mengatakan ucapan ini dipopulerkan kembali oleh Ibnu Taimiyyah adalah dari sudut pemahaman Ibnu Taimiyyah terhadap perkara ini yang menimbulkan akidah tajsimnya dia. Oleh sebab itulah ramai ulama Asy’ariyyah menyinggung persoalan ini pada Ibnu Taimiyyah, kerana mereka semua paham maksud Ibnu Taimiyyah mengangkat kembali persoalan ini, sebagaimana sebentar lagi saya akan buktikan fakta ucapan Ibnu Taimiyyah yang mengarahkan pada tajsim.

Adapun ulama sunnah yang menampilkan persoalan ini seprti disebutkan Salman Ali antaranya al-Suyuthi dan Ibnu Hajar, maka ketahuilah bahwa mereka sama sekali tidak memegang atsar Mujahid melainkan memegang pendapat jumhur ulama yang menafsirkan maqam mahmud dengan syafa’at udzhma. Mereka menukil atsar tersebut sama sekali bukan bertujuan menetapkan Allah duduk di atas Arsy, akan tetapi hanya ingin menetapkan keutamaan Nabi. Dan mereka menukil dengan memahami secara takwil yang sesuai keagungan Allah Ta’ala. Cuba perhatikan komentar Ibnu Hajar yang dinukil oleh Salman Ali :

قال الطبري وقال ليث عن مجاهد في قوله تعالى مقاما محمودا يجلسه معه على عرشه ثم أسنده وقال الأول أولى على أن الثاني ليس بمدفوع لا من جهة النقل ولا من جهة النظر وقال ابن عطية هو كذلك إذا حمل على ما يليق به وبالغ الواحدي في رد هذا القول وأما النقاش فنقل عن أبي داود صاحب السنن أنه قال من أنكر هذا فهو متهم وقد جاء عن ابن مسعود عند الثعلبي وعن ابن عباس عند أبي الشيخ وعن عبد الله بن سلام قال إن محمدا يوم القيامة على كرسي الرب بين يدي الرب أخرجه الطبري (قلت) فيحتمل أن تكون الإضافة إضافة تشريف وعلى ذلك يحمل ما جاء عن مجاهد وغيره
Diakhir nukilan beliau berkomentar :

(قلت) فيحتمل أن تكون الإضافة إضافة تشريف وعلى ذلك يحمل ما جاء عن مجاهد وغيره

“ Aku katakan (Ibnu Hajar) : “ Maka diihtimalkan (dimungkinkan maknanya) bahwa sandaran itu berupa sandaran kemuliaan. Atas dasar ini pula (diihtimalkan pula) apa yang datang riwayatnya dari Mujahid dan selainnya “.

Pemahaman ulama sunnah seperti Ibnu Hajar adalah mentakwil hadits-hadits semacam itu, bukan sebagaimana pemahaman kaum wahabi dan Ibnu Taimiyyah yang memahaminya secara dhahir. Dalam nukilan Ibnu Hajar pun disebutkan bahwa Ibnu ‘Athiyyah mentakwil hal ini, cuba perhatikan :

وقال ابن عطية هو كذلك إذا حمل على ما يليق به

“ Ibnu ‘Athiyyah berkata : “ Itu juga demikian, jika diihmalkan (dimungkinkan maknanya) terhadap makna yang layak bagi-Nya “.

Demikian pula as-Sayuthi yang bermazhabkan Asy’ari, bahkan beliau juga menampilkan kisah kronologi ath-Thabari yang menolak atsar Mujahid secara keras dan terang-terangan :

وفي بعض المجامع أن قاصا جلس ببغداد فروى في تفسير قوله تعالى { عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا } أنه يجلسه معه على عرشه فبلغ ذلك الإمام محمد بن جرير الطبري فاحتد من ذلك وبالغ في إنكاره وكتب على باب داره سبحان من ليس له أنيس ولا له في عرشه جليس فثارت عليه عوام بغداد ورجموا بيته بالحجارة حتى انسد بابه بالحجارة وعلت عليه
“ Di sebagian perkumpulan, sesungguhnya ada seorang pencerita duduk bermajlis di Baghdad, lalu ia membawakan riwayat tafsir ayat “ Semoga Tuhanmu membangkitkanmu dengan kedudukan yang terpuji “, sesungguhnya Allah akan mendudukkan Nabi bersamaNya di atas Arsy-Nya. Maka kabar ini sampai didengar oleh imam ath-Thabari sangat marah dari hal itu dan sangat mengingkarinya, maka beliau menulis di pintu rumahnya : “ Maha Suci Dzat yang tidak memiliki teman dekat (anis) dan tidak memiliki teman duduk di atas Arsy-Nya “. Maka kaum awam Baghdad terprofokasi dan melempari beliau dengan batu hingga pintu rumahnya penuh dengan batu yang menutupinya “.

A-lmam Abu al-Hasan al-Asy’ari -semoga Allah meridlainya- (260-330 H) berkata :
وَقَالَ اَهْلُ السُّنَّةِ وَاَصْحَابُ اْلحَدِبْثِ : لَيْسَ بِجِسْمٍ وَلاَيُشْبِهُ اْلاَشْيَاءَ
“ Ahlus sunnah dan ahli hadits mengatakan : “ Allah tidak memiliki jisim (anggota /organ tubuh) dan tidak menyerupai sesuatu “.
Sangat berbeda dengan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak boleh menetapkan jisim pada Allah juga tidak boleh mentiadakannya. Walaupun faktanya Ibnu Taimiyyah tetap menetapkan jisim bagi Allah sebagaimana akan kita jelaskan.


Salman Ali mengatakan :

Adapun nukilan mereka dari Ibnu Abdi Barr maka ia adalah salah satu kesimpulan yang cuba dinukilkan oleh beliau berdasarkan pemerhatian beliau, bukannya pandangan muktamad. Namun begitu antara perkara yang disembunyikan oleh ustaz al-katibiy, ibn taimiyah juga membawakan pandangan yang hampir sama dengan ibn Abdil Barr dengan tidak menganggap atsar Mujahid ini sebagai hujjah..

وذكر مَن رَواها فَفيها عَدة أَحاديث مَوضوعة كَحديث اَلرؤية عَيانا لَيلة اَلمعراج وَنحوه وَفيها اَشياء عَن بَعض اَلسلف رَواهاَ
بعض اَلناس مَرفوعة كَحديث قَعود اَلرسول صَلى اَلله عَليه وَسلم عَلى اَلعرش رَواه بَعض اَلناس مَن طَرق كَثيرة مَرفوعةَ
وهي كَلها مَوضوعة وَإنما اَلثابت أَنه عَن مَجاهد وَغيره مَن اَلسلف وَكان اَلسلف وَالأئمة يَروونه وَلا يَنكرونه وَيتلقونهَ
بالقبول وقد يَقال إَن مَثل هَذا لَا يَقال إَلا تَوقيفا لَكن لَا بَد مَن اَلفرق بَين مَا ثَبت مَن أَلفاظ اَلرسول وَما ثَبت مَن كَلام غَيره سَواء كَانَ من اَلمقبول أَو اَلمردود

Sungguh Qadhi Abu Ya’la telah mengarang sebuah kitab yang bernama Ibthal al Ta’wil sebagai bantahan terhadap Ibnu Fawraq, sekalipun dalam kitab tersebut ia memberikan sanad hadits-hadits yang dan menyebutkan rawinya, namun didalam kitab tersebut banyak sekali hadits-hadits maudhu. Misalnya hadits melihat Allah dengan mata telanjang di malam Mi’raj dan semisalnya. ada beberapa perkara dari sebagian Salaf yang diriwayatkan oleh sebagian orang secara marfu seperti hadits duduknya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam diatas Arsy, hadits tersebut diriwayatkan oleh sebagian orang dari banyak jalan yang marfu namun semuanya maudhu. Hadits yang tsabit hanya dari Mujahid dan selain beliau dari kalangan Salaf dan mereka serta para imam meriwayatkannya, tidak mengingkarinya dan sepakat menerimanya. Sesungguhnya contoh seperti ini tidak dikatakan melainkan tauqif, namun perlu dibezakan antara apa yang tsabit dengan lafadz-lafadz dari Rasulullah dengan yang valid dari perkataan orang lain dalam masalah penerimaan dan penolakan (Dar’u at-Ta’arudh, 3/19)
Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya menerima tafsiran maqam mahmud sebagai syafaat
Saya jawab :
Salman Ali mungkin hanya melihat ucapan-ucapan yang menerima atsar Mujahid tanpa mau mengkaji lebih dalam lagi terhadap ulama yang menolaknya.
Bukan hanya imam Ibnu Abdil Barr saja yang menolaknya akan tetapi Tidak sedikit ulama yang menolak atsar Mujahid dikarenakan status sanad dan matannya dhaif. Di antaranya Al-Wahidi menolak keras atsar Mujahid, ia mengatakan :

وهذا قول رذل موحش فظيع ، ونص الكتاب ينادي بفساد هذا التفسير

“ Ini adalah ucapan yang hina, menyalahi ketentuan bahasa dan buruk. Nash al-Quran menyeru dengan rusaknya penafsiran seperti ii “.

Al-Hafidz adz-Dzahabi juga menolak atsar tersebut dan mengatakan hadits itu mungkar, walaupun ia mengakui banyak ulama yang menerimanya.

Al-Fakhr ar-Razi dalam kitab Tafsirnya juga menolak atsar tersebut bahkan menjelaskan sudut-sudut kesalahannya yang begitu banyak. Asy-Syaukani dalam kitabnya Fath al-Qadir juga menolak atsar Mujahid, Ibnul Mu’allim al-Qurasyi juga menolak atsar Mujahid, Albani pun menolak keras atsar ini dan mendhaifkannya, ia berkata :

وتفسير بعضهم لقوله تعالى : عسى أنْ يَبْعَثَكَ رَبُكَ مَقَاماً مَحْموداً بإقعاده على العرش مع مخالفته لما في الصحيحين وغيرهما أنّ المقام المحمود الشفاعة العظمى ، فهو تفسير مقطوع غير مرفوع عن النبي ، ولو صح ذلك مرسلاً لم يكن فيه حجة ، فكيف وهو مقطوع موقوف على بعض التابعين ؟! ، وإنّ عجبي لا يكاد ينتهي من تحمس بعض المحدثين السالفين لهذا الحديث الواهي والأثر المنكر

“ Dan tafsir sebagian mereka atas ayat : “ Semoga Tuhanmu mengutusmu kepada kedudukan yang terpuji “, dengan penafsiran : “ Duduknya di atas Arsy padahal bertentangan dengan yang ada dalam dua kitab sahih dan selainnya bahwa maqam mahmud adalah syafa’at al-Udzma. Maka penafsiran itu (duduknya di atas Arsy) adalah penafsiran yang terputus, tidak marfu’ dari Nabi. Seandainya sahih secara mursal, maka tidak bisa dijadikan hujjah. Bagaimana tidak, sedangkan atsar itu terputus dan terhenti atas sebagian tabi’in saja. Aku sungguh heran tak habis-habis kepada sebagian ahli hadits terdaulu yang menerima hadits lemah ini dan atsar mungkar ini “.

Dan faktanya Ibnu Taimiyyah tidak sebagaimana sangkaan Salman Ali yang mengira Ibnu Taimiyyah jjuag sependapat dengan imam Ibnu Abdil Barr, padahal kenyataannya justru Ibnu Taimiyyah mensahihkan atsar Mujahid, cuba perhatikan lagi ucapanya :
وَإنما اَلثابت أَنه عَن مَجاهد وَغيره مَن اَلسلف وَكان اَلسلف وَالأئمة يَروونه وَلا يَنكرونه وَيتلقونهَ بالقبول
“ Hadits yang tsabit hanya dari Mujahid dan selain beliau dari kalangan Salaf dan mereka serta para imam meriwayatkannya, tidak mengingkarinya dan sepakat menerimanya.”

Ibnu Taimiyyah masih mengukuhkan (menguatkan) atsar Mujahid, sedangkan imam Ibnu Abdil Barr justru menyatakan atsar itu mungkar. Sangat berbeda jauh.

Atsar Mujahid dianggap mungkar sebab dalam sanad itu ada rawi yang bernama Laits. Oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya : 3/459 bahwa Laits adalah dhaif. Dalam kitab Nasbu ar-Rooyah : 2/234 disebutkan bahwa Laits dhaif menurut ahli hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar