Selasa, 29 November 2022

SALAFI bukan Bermanhaj SALAF bag 1

Kami semakin yakin bahwa kaum wahabi memang mayoritas pemahamannya adalah dangkal, jahil dan sempit sebagaimana dikatakan oleh Nabi dengan sebutan SUFAHAA-UL AHLAAM (kaum yang pemikirannya idiot dan dangkal). Kenapa tidak, mereka dengan jelas sering salah dalam memahami nash al-Quran, hadits apalagi nash para ulama. Dalam artikel yang ditulis Asrie bin Shobrie ini sungguh banyak sekali kebodohan bahkan penipuan dan dusta atas nama ulama salaf. Pemahaman yang sangat dipaksakan sesuai selera pemahaman dangkalnya yang sangat jauh dari maksud sebenarnya.  Bahkan dalam tulisan Arsie ini pembaca akan menemukan banyak sekali kecurangan dan jenayah ilmiyyah yang dilakukannya, kami akan kupas dan bahas secara detail dan ilmiyyah berdasarkan data-data valid, akurat yang bersumber langsung dari kitab-kitab para ulama yang dijadikan rujukan oleh Asrie bin Shobrie ini. Semoga bermanfaat..

Asrie bin Shobrie mengatakan :

Ahlus Sunnah wal Jamaah yang beriman dengan ALLAH ta’ala sesuai dengan metodologi yang dibawa oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian disampaikan oleh para Sahabat –radiallahu ‘anhum- dan diwariskan generasi ke generasi oleh Ulama’ as-Salaf daripada Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in; mereka beriman bahawa ALLAH ta’ala mempunyai sifat-sifat kemuliaan dan kesempurnaan yang hakiki seperti yang ALLAH sendiri khabarkan dalam al-Quran dan disampaikan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Sunnah.

Mereka beriman bahawa sifat-sifat ini benar dan wujud pada ALLAH ta’ala dan zat ALLAH bersifat dengan sifat-sifat ini, namun mereka beriktiqad bahawa kaifiat dan bentuk sifat ini tidaklah sama dengan kaifiat dan bentuk sifat makhluk walaupun terdapat perkongsian pada penamaan ‘am sifat-sifat ini antara ALLAH dengan makhluk.

Hal ini dapat dibuktikan dengan dalil ‘aqli yang sahih; kita dapat melihat manusia berkongsi mempunyai ((wajah)) namun wajah setiap insan tidak sama walaupun berkongsi beberapa khususiah seperti; ada kening, dagu, pipi, hidung, mulut, dan “muhdats” (makhluk) namun tidak dijumpai wajah manusia dengan manusia yang lain sama 100% bahkan antara kembar seiras sekalipun tidaklah sama 100%.  Jika terdapat perbezaan yang begini besar dan ketara antara wajah sesama manusia yang berkongsi khususiah, maka tentu sekali antara wajah manusia dan haiwan terdapat perbezaan dan tentu sekali jika wajah sesama makhluk berbeza-beza, perbezaan antara wajah makhluk dengan wajah al-Khaliq jalla wa ‘ala lebih utama dan pasti.

Saya jawab :

Mengklaim adanya perbezaan antara wajah makluk dengan wajah al-Khaliq, sama saja mengklaim adanya kaifiyyah bagi Allah, kerana yang menjadikan adanya perbezaan tidak ada lain adalah kaifiyyah (visualisasi). Artinya Asrie telah menetapkan adanya kaifiyyah bagi Allah walaupun ia mengatakan tidak mengetahui kaifiyyah Allah seperti apa. Ini jelas sebenar-benarnya akidah tajsim dan tasybih. Yang benar adalah Allah tidak seperti makhluk-Nya dan Allah disucikan dari kaifiyyah, kerana Dia-lah yang menciptakan makhluk dan menciptakan kaifiyyah.


Imam Malilk mengatakan :


“ Kaif (visualisasi bagi Allah) itu tidak ada dalam logika dan istiwa itu tidaklah majhul (artinya diketahui dan disebutkan dalam syare’at pada tujuh ayat) “[1]

Ibnul Jauzi mengatakan :


“ Apa yang berpotensi mengarah pada fisik bersama-Nya, maka kaegungannya sungguh agung dari mencapai pencegahan kahayalan. Bagaimana Allah bisa ditanayakan padanya bagaimana (kaif) ? sedangkan kaif (visualisasi) pada haq Allah itu mustahi “.[2]

Al-‘Allamah ar-Raghib asl-Ashfihani mengatakan : “ Kaif (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi) adalah lafadz yang digunakan untuk menanyakan sesuatu yang serupa atau pun tidak seperti hitam dan putih, sakit dan sehat, oleh sebab itu tidak pantas ditanyakan bagi Allah dengan ucapan kaif (bagaimana) “[3]


Diiwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim al-Handzali rahimahullah, bahwa ia berkata : “ Amir Abdullah bin Thahir berkata padaku : “ Wahai Abu Ya’kub, hadits ini yang diriwayatkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam : “ Tuhan kita turun setiap malam “, bagaimana Dia urun ? maka Ishaq bin Ibrahim menjawab : “ Aku menjawab, “ Semoga Allah memuliakan Amir, pada urusan Allah tidak boleh dikatakan Kaif, sesungguhnya Allah turun tanpa kaif “.[4]

Perhatikan Ishaq bin Ibrahim al-Handzali ini yang dikenal dengan ishaq bin Rahawih yang menafikan kaif dari Dzat Allah Ta’ala. Tapi wahabi justru menetapkan adanya kaif bagi Allah dan wahabi mengatakan “ Kami tidak mengetahui kaifiyyah sifatnya Allah secara hakikatnya “. Padahal kaifiyyah hanya ada pada mutakayyif yakni makhluk.


Imam Baihaqi mengatakan :

“ Dan turunnya Allah bukanlah dengan sifat perpindahan, diri-Nya bukanlah dengan jisim, wajah-Nya bukanlah dengan bentuk rupa, tangn-Nya bukanlah dengan jarihah (organ tubuh), mata-Nya bukanlah dengan kelopak. Sesungguhnya sifat-sifat ini datang dengan tauqif, maka kami mengatakannya dan kami menafikan takyif bagi Allah. Allah telah berfirman : “ Tidak ada sesuatu pun seperti Allah “, Allah juga berfirman : “ Tidak ada sesuatu yang sekufu dengan Allah “, Allah juga berfirman : “ Apakah kamu mengetahu nama bagi-Nya “.[5]

Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan :


“ ..Karena ini adalah kaifiyyah sedangkan mereka (ulama salaf) sangat takut dari (mengucapkan)-nya. Karena kaifiyyah itu tidak layak kecuali untuk sesuatu yang memiliki batasan secara nyata, sedangkan Allah Maha Agung dan Suci dari hal itu “.[6]
Perhatikan dan renungkan ucapan imam Abdul Barr tersebut, beliau dengan tegas menyatakan bahwa para ulama tidak berani mengatakan kaif bagi Allah karena kaif hanya ada pada sesuatu yang memiliki batasan  yaitu makhluk sedangkan Allah tidak memiliki batasan dan Allah bukanlah makhluk. Inilah yang dimaksud oleh ulama salaf yang mengatakan “ Bilaa takyiif “, bukan seperti pemahaman wahabi yang memalingkan maksud sebenarnya yakni Allah memiliki kaifiyyah akan tetapi kaifiyyahnya tidak diketahui makhluk-Nya. Naudzu billahi min suu-il fahm.

Asrie mengatakan :

Tidak ada orang yang beraqal mengatakan mengisbatkan perkongsian pada penamaan ‘am sesuatu sifat membawa kepada “tasybih” (yakni: Tamtsil) seperti contoh: “Zaid mempunyai wajah, Unta juga mempunyai wajah” tidak ada orang beraqal dalam ‘alam ini yang berkata orang yang berkata sebegini telah men-tasybih-kan Zaid dengan Unta atau men-tasybih-kan Unta dengan Zaid. Tasybih akan berlaku jika seseorang berkata: “Wajah Zaid seperti Unta; mempunyai bulu, mulutnya panjang, matanya di sisi…” inilah Tasybih yakni menafikan adanya kadar perbezaan antara dua sifat.

Saya jawab :

Ucapan yang benar tapi bermaksud bathil. Kaidah tersebut memang benar jika dipraktekkan atau dinisbatkan pada makhluk. Akan tetapi sangat salah jika dinisbatkan untuk Allah. Karena Allah Maha Suci dari segala sifat makhluk-Nya. Rupanya dzat Allah dalam pikiran Asrie adalah sama seperti makhluk yang boleh dibayangkan.
Perhatikan ucapan imam Qurthubi ahli tafsir berikut ini :
السادسة: قوله تعالى: { فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَاءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ } قال شيخنا أبو العباس رحمة الله عليه: متبِعو المتشابه لا يخلو أن يتبعوه ويجمعوه طلباً للتشكيك في القرآن وإضلالِ العوامّ، كما فعلته الزنادقة والقرامِطة الطاعنون في القرآن؛ أو طلباً لاعتقاد ظواهر المتشابه، كما فعلته المجسِّمة الذِين جمعوا ما في الكتاب والسنة مما ظاهره الجِسمية حتى ٱعتقدوا أن البارىء تعالى جسم مجسم وصورة مصوّرة ذات وجه وعين ويد وجنب ورجل وأصبع، تعالى الله عن ذلكٰ

 “Keenam: Firman Allah ((mereka mengikut apa yang samar daripadanya untuk mengkehendaki fitnah dan mengkehendaki ta’wilnya)). Guru kami Abu Al-Abbas berkata: “Mereka yang mengikuti mutasyabihat tidak lain apakah mengikuti mutasyabihat dan menghimpunkannya (menghimpunkan ayat-ayat mutasyabihat untuk menetapkan makna dhahir atau menetapkan kontradiksi antara ayat-ayat Al-Qur’an) untuk membuat keraguan dalam Al-Qur’an dan menyesatkan orang awam sebagaimana yang dilakukan oleh Zindiq, Qaramithoh yang menuduh Al-Qur’an, ataupun percaya/berpegang dengan dhahir-dhahir (makna dhahir) mutasyabih sebagaimana yang dilakukan oleh mujassimah yang menghimpun  yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mana makna dhahirnya mengandungi makna kejisiman, lalu mempercayai Allah itu suatu jisim yang berjisim, suatu rupa yang mempunyai rupa bentuk, yang mempunyai wajah, mata, tangan, sisi, kaki dan jemari yang mana maha suci Allah daripadanya (sifat-sifat tersebut)….”[7]

Imam Qurthubi mencela kaum yang menuntut zahir-zahir ayat mutasyabihat, mereka adala kaum mujassimah yang selalu berkutat katit di dalam zahir nash yang mewawahmkan tasybih, hingga mereka berkeyakinan Allah punya jisim tertentu, rupa tertentu, punya wajah, mata, tangan, lempeng, kaki dan jari. Seandainya zahir-zahir ayat sifat ini tidak mewahamkan kepada tasybih, kenapa imam Qurthubi dan para ulama lainnya mencela kaum yang berpegang dengan zahir maknanya seperti kaum mujassimah ini?? Afalaa ta’qiluun ya Asrie ??

Asrie mengatakan :

Adapun menetapkan kadar ‘am antara dua benda wujud maka ini tidak tergambar pada aqal yang waras ianya tasybih bahkan tidak dapat tidak setiap benda yang wujud mesti berkongsi pada penamaan ‘am seperti: “Wujud”. Diketahui bahawa makhluk “wujud” demikian juga al-Khaliq tabaraka wa ta’ala Wujud, tidak ada orang ber’aqal waras akan berkata: “jika kamu berkata Tuhan wujud, makhluk juga wujud, ini adalah (Tasybih)!!”. Bahkan diketahui walaupun terdapat perkongsian pada penamaan ‘am wujud, di sana ada juga kadar perbezaan antara dua jenis wujud; Wujud al-Khaliq yang diistilahkan Ahli Falsafah sebagai “Wujud yang Wajib” manakala wujud makhluk adalah: “Wujud yang Mumkin (harus)”.

Saya jawab :

Kaidah bathil yang diciptakan kaum wahabi ini mengakibatkan dua kebahayaan :

Bahaya pertama : Sadar atau tidak ia telah meyakini jismiyyah pada Allah Ta’ala, karena hakikat tangan, kaki, wajah, mata, betis dan semisalnya pada makhluk secara umum adalah anggota atau organ-organ tubuh yang berjisim yang memiliki ukuran panjang, lebar, dalam, pendek dan batasan.

Bahaya kedua : ia telah meyakini bahwa Allah berbentuk, dan memiliki kaifiyyah.
Perhatikan ucapan imam al-Qurthubi berikut ini :

وهذه الآية من المشكلات،والناس فيها وفيما شاكلها على ثلاثة أوجه ،قال بعضهم : نقرؤها ونؤمن  بها ولانفسرها وذهب إليه كثيرمن الأئمة،وهذاكما روي عن مالك رحمه الله أن رجلاًسأله عن قوله تعالى ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْش ِٱسْتَوَى,قال مالك : الاستواء غيرمجهول ،والكيف غيرمعقول ،والإيمان به واجب ،والسؤال عنه بدعة ،وأراك رجل سَوْء! أخرجوه. وقال بعضهم : نقرؤهاونفسّرهاعلى مايحتمله ظاهراللغة وهذاقول المشبّهة . وقال بعضهم : نقرؤها ونتأوّلها ونُحيل حَمْلهاعلى ظاهرها
Dan ayat ini sebagian dari ayat-ayat yang sulit, Dan manusia pada ayat ini dan pada ayat-ayat sulit lainnya, ada tiga (3) pendapat : Sebagian mereka berkata : “kami baca dan kami imani dan tidak kami tafsirkan ayat tersebut, pendapat ini adalah pendapat mayoritas para Imam, dan pendapat ini sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwa seseorang bertanya kepada nya tentang firman Allah taala (Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsyi Istawa), Imam Malik menjawab : Istiwa’ tidak majhul, dan kaifiyat tidak terpikir oleh akal (mustahil), dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, dan saya lihat anda adalah orang yang tidak baik, tolong keluarkan dia”. Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami tafsirkan menurut dhohir makna bahasa (lughat)”, pendapat ini adalah pendapat Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Dan sebagian mereka berkata : “kami bacakan dan kami Ta’wil dan kami berpaling dari memaknainya dengan makna dhohir ”.[8]

Seandainya teks mutasyabihat yang mengkabarkan sifat Allah tidak mewahamkan tasybih dan tajsim, kenapa imam Qurthubi menyatakan musyabbihah kepada kaum yang membawa teks shifat kepada makna zahir bahasa??

Kaidah bathil ini diakibatkan ketidak pahaman Asrie dan kaum wahabi tentang pembagian sifat-sifat Allah Ta’ala dalam al-Quran. Sifat-sifat Allah Ta’ala dalam al-Quran terbagi menjadi tiga bagian :

Bagian pertama : Sifat yang tidak menimbulkan baharu dan jisim Seperti sama’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), qudrah (kemampuan) ‘ilm (pengetahuan) dan lain sebagainya, maka sifat-sifat ini kita tetapkan dengan makna kulli-nya (makna keseluruhannya), adapun makna khusus dari sifat-sifat Ma’aani semacam ini maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala. Pendengaran Allah tidaklah sama dengan pendengaran maklhuk-Nya. Pendengaran makhluk memiliki batasan dengan zaman dan tempat, datang dan pergi, butuh terhadap alat telinga, daun telinga dan semacamnya. Sedangkan pendengaran Allah tidaklah dibatasi oleh semua itu. Disucikan dari segala organ dan alat. Sifat-sifat ini tidak ditafwidh maknanya secara keseluruhan kerana tidak menimbulkan taysbih dan jisim, adapun makna khususnya maka harus ditafwidh sebab tidak ada yang mengetahui hakikat pemahaman sifat itu kecuali Allah Ta’ala sendiri.

Bagian kedua : Sifat yang menimbulkan kekurangan dan aib bagi Allah seperti nisyaan (lupa), maka ini harus / wajib ditakwil dan tidak boleh ditafwidh maknanya.

Bagian ketiga : Sifat yang makna zahirnya mewahamkan pada taysbih dan kekurangan. Kerana makna zahirnya menunjukkan pada sifat jisim. Dan dalam bahasa Arab memiliki makna-makna lainnya yang layak bagi keagungan Allah Ta’ala. Contohnya sifat tangan, ini memiliki banyak makna di antaranya adalah jarihah (organ tubuh), makna semacam ini telah dinafikan oleh ulama salaf dan kholaf dan inilah makna hakikatnya secara bahasa. Tinggal tersisa makna-makna majaznya. Ulama salaf tidak mau menentukan satu pun dari makna majaznya, kerana memastikan satu makna dari makna-makna majaznya adalah hanya bersifat dzhann (Sangkaan) bukan yakin. Mereka tidak mau menempatkan sifat Allah pada tempat sangkaan belaka, maka mereka mentafwdih makna yang dimaksudnya dari teks-teks sifat kepada Allah Ta’ala.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh imam al-Qadhi Abu Bakar ibn ‘Arabi :


“ Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn ‘Arabi mengatakan : “ Hadits-hadits sahih dalam bab ini – yakni dalam bab shifat- terbagi menjadi tiga tingkatan :
Pertama : Sifat yang lafaz-lafaznya datang dengan menunjukkan kesempurnaan semata, tidak ada aib atau kekurangan. Maka ini wajib diyakini.
Kedua : Sifat yang lafaz-lafaznya ada kekurangan, maka ini tidak ada bagian sedikitpun bagi Allah, tidak boleh disandarkan kepada-Nya kecuali ia terhalang darinya dalam makna secara dharurat saja seperti firman-Nya, “ Wahai hambaku, aku sakit kenapa tidak menjengukku “, dan semisalnya.
Yang ketiga : sifat yang lafaz-lafaznya ada kesempurnaan akan tetapi mewahamkan taysbih “.[9]
Kemudian beliau melanjutkan :


“ Adapun sifat yang datang dengan kesempurnaan semata seperti sifat wahdaniyyah, ilmu, qudrah, iradah, hayat, sama’, bahsar, ihathah, taqdir dan tadbir, tidak ada sekurtu, maka tidak ada pembicaraan di antara ulama dan tidak ada no coment. Adapun sifat yang lafaznya datang dengan kekurangan semata seperti firman Allah Ta’ala “ Siapakah yang mau menghutangkan Allah dengan hutang yang baik “ dan firman-Nya “ Aku lapar kenapa kamu tidak memberikan aku makan “, maka semua orang baik yang alim maupun yang jahil mengetahui bahwa hal itu adalah kinayah (sindiran), akan tetapi Allah menyandarkan hal itu kepada dzat-Nya yang Mulia lagi Suci sebagai kemuliaan kepada wali-Nya dan sebagai kehormatan dan pelembutan bagi hati...
Maka jika ada lafaz-lafaz yang muhtsmsl (mengandung makna yang banyak) yang terkadang dari satu sisi datang untuk kesempurnaan dan satu sisi lainnya kadang untuk kekurangan / aib, maka wajib bagi setiap muslim yang cerdas untuk menjadikannya makna kinayah / sindiran yang boleh atas-Nya, dan menafikan dari apa yang tidak boleh atas-Nya. Maka ucapan di dalam tangan, pergelangan tangan dan jari adalah kalimat-kalimat indah yang menunjukkan makna-makna mulia, karena kalimat saa’id (pergelangan tangan) menurut orang Arab kadang terarahkan pada makna kekuatan dan kesangatan, dan disandarkan kalimat saa’id kepada Allah kerana sesungguhnya segala urusan milik Allah. Demikian juga ucapannya : “ Sesungguhnya sedekah itu jatuh di telapak tangan Allah yang Maha Pengasih “, diibaratkan dengan kalimat telapak tangan, dimaksudkan penjagaan orang miskin sebagai kemuliaan dan apa yang dibalik dengan jari jari itu ebih mudah dan ringan dan lebih cepat “.[10]

Asrie mengatakan :

Apabila difahami kaedah yang sedia jelas dan terang pada ‘aqal ini, diketahui secara daruri juga bahawa menetapkan bagi ALLAH ta’ala sifat-sifat kesempurnaan secara hakiki tidaklah melazimkan sama sekali menyamakan ALLAH ta’ala dengan makhluk bahkan sifat-sifat ALLAH dan makhluk itu terdapat perbezaan antara keduanya dengan perbezaan yang sangat besar di mana sifat ALLAH adalah maha sempurna sedangkan sifat makhluk maha kekurangan.

Saya jawab :

Ya benar, jelas secara akal kaum wahabi bukan akal kaum muslimin yang sehat. Sebagaimana telah saya katakan sebelumnya bahwa sifat Allah yang mewahamkan kepada taysbih, tidak bisa dimaknai dengan makna hakikatnya sebab makna hakikatnya secara bahasa Arab adalah mengandung jisim dan tasybih, sedangkan ada makna-makna lainyya yang layak bagi Allah. Namun para ulama salaf tetap tidak mau menentukan makna-makna lain yang layak tersebut. Inilah makna dan maksud dari tafwidh para ulama salaf
Secara realita dan fakta sikap para ulama salaf ini, sudah jelas membatalkan kaidah ciptaan wahabi tersebut. Perhatikan ucapan para ulama berikut ini :


 “ Imam Baihaqi berkata : “ Telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Abdullah al-Hafidz, telah mengabarkan padaku Muhammad bin Yazid, aku mendengar Abu Yahya al-Bazzar berkata : “ Aku mendengar Abbas bin Hamzah berkata : “ Aku mendengar Ahmad bin Abi al-Hawari berkata : “ Aku mendengar Sufyan bin Uyainah berkata : “ Semua apa yang Allah sifatkan diri-Nya di dalam kitabnya, maka penafsirannya adalah pembacaannya dan diam atasnya “. Berkata imam al-Baihaqi : “ Sesungguhnya Sufyan bermaksud dengan ucapan itu – wa Allahu A’lam- adalah dengan penafsiran yang yang menyebabkan pada takyif (visualisasi), sedangkan takyif itu menyebabkan pada tsyabih (penyerupaan) pada Allah dengan makhluk-Nya di dalam sifat-sifat baharu “.[11]

Perhatikan ucapan dan komentar imam Baihaqi di atas, beliau mengomentari ucapan imam Sufyan dengan penafsiran yang menyebabkan takyif dan tasybih, adapun penafsiran yang tidak menyebabkan takyif dan tasybih, maka sah-sah saja ditafsirkan.

Imam Al Alusi dalam tafsir Ruhul Ma’ani Berkata:

وأنت تعلم أن المشهور من مذهب السلف عدم تأويل مثل ذلك بتقدير مضاف ونحوه بل تفويض المراد منه إلى اللطيف الخبير مع الجزم بعدم إرادة الظاهر
“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab salaf adalah meniadakan takwil seperti itu, dengan cara menambahkan atau lainnya, tetapi (mereka)  tafwidh (menyerahkan) maksudnya kepada Al Lathiful Khabir (maksudnya Allah Ta’ala) beserta meyakininyadengan tanpa mengkehendakinya secara literal.” [12]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :


“ Dan dikikhtilafkan di dalam maksud dengan telapak kaki, metode ulama salaf di dalam bab ini dan selainnya sangatlah masyhur yaitu hendaknya melewati lafaz itu sebagaimana datangnya, tidak condong untuk mentakwilnya bahkan bekeyakinan kemustahilan apa yang mewahamkan kekurangan atas Allah “. [13]

Semua fakta ini menunjukkan adanya perbedaan antara sifat khabariyyah Allah dan sifat selain khabariyyah, tidak bisa dipungkiri sama sekali bagi yang mengkajinya.

Asrie mengatakan :

Tidak ada dalam kalangan Umat Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam yang ingkar akan sifat-sifat ALLAH ta’ala sehinggalah munculnya seorang Syaitan Akbar bernama: al-Jahm bin Safwan Abu Muhriz al-Rasibi (dibunuh oleh kerajaan Bani Umayyah pada tahun 128 H) yang menzahirkan ‘aqidah Ta’til dan ingkar sifat-sifat ALLAH ta’ala. Kepada al-Jahm inilah disandarkan Firqah al-Jahmiah yang telah dihukum Ulama’ as-Salaf sebagai “Kafir” dan terkeluar daripada Islam.
Kata al-Imam al-Zahabi –rahimahullah-:
فكان الناس في عافية وسلامة فطرة حتى نبغ جهم فتكلم في الباري تعالى وفي صفاته بخلاف ما أتت به الرسل وأنزلت به الكتب، نسأل الله السلامة في الدين.
Maksudnya: “adalah manusia berada dalam keadaan yang sangat ‘afiat dan sejahtera fitrah mereka sehinggalah muncul Jahm lalu dia berbicara berkenaan al-Bari ta’ala dalam sifat-sifatNya dengan perbicaraan yang menyalahi apa yang dibawa oleh para Rasul dan apa yang diturunkan dengannya Kitab-kitab, kita bermohon kepada ALLAH kesejahteraan dalam agama”. [Tarikh al-Islam, 3/389].

‘Aqidah ta’til ini al-Jahm mengambilnya daripada Ja’ad bin Dirham (dibunuh oleh kerajaan Bani Umayyah pada pada tahun 124 H) di mana Ja’ad adalah orang pertama yang menzahirkan ‘aqidah (al-Quran adalah makhluk) dan ingkar ALLAH berbicara dengan Musa ‘alaihis salam juga ingkar sifat al-Khullah lalu menafikan Ibrahim ‘alaihis salam adalah “Khalil ALLAH”.

Al-Ja’ad berguru dengan seorang Yahudi bernama: Bayan bin Sam’an dan Bayan bin Sam’an ini berguru dengan Talut anak saudara perempuan kepada Labid bin al-A’som –ahli sihir yang menyihir baginda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam- dan Talut ini berguru dengan bapa saudaranya; Labid bin al-A’som –laknatullahi ‘alaih-.

Inilah apa yang disebut para Ulama’ sebagai ((Sanad Kejahatan)) yakni Sanad ‘aqidah Ta’til (menafikan sifat ALLAH) yang berasal daripada Yahudi Kafir Ahli Sihir yang telah menyihir Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak hairan ada sekelompok Ahli Kalam yang cuba untuk membersihkan “nama baik” Labid bin al-A’sam dengan mengingkari kisah penyihiran ke atas baginda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. [rujuk: al-Bidayah wan Nihayah, Ibn Katsir, 13/147, Tahqiq: al-Turki].

Saya jawab :

Saya sangat sesalkan jika Asrie bin Shobrie ini seorang doktor atau dosen dalam akidah, kerana ternyata ilmunya seperti anak pemula yang baru belajar akidah dan sejarahnya, lalu sudah berani bersuara lantang di depan umum. Dia tak sadar bahwa dia ibarat anak kecil (budak) yang bermaen silat di depan para master / guru silat.

Membawakan sejarah akidah ta’thil kaum jahmiyyah dalam menyinggung kepada Ahlus sunnah wal jama’ah dalam hal ini kaum Asy’ariyyah dan Maturudiyyah, adalah sebuah kebodohan dan kejahatan. Sebab Asy’ariyyah dan Maturudiyyah sangat bertolak belakang dengan kaum jahmiyyah. Sebagaimana telah saya jelaskan di awal, yang kesimpulannya adalah tidak ada satu pun Ahlus sunnah wal jama’ah sejak masa sahabat, tabi’in hingga sekarang ini yang menafikan atau membatalkan sifat-sifat Allah Ta’ala sama ada sifat Dzatiyyah atau sifat Khobariyyahnya.

Kaum ‘Asy’ariyyah yang mengikuti madzhab ulama salaf yang secara fakta dan realita memiliki dua sikap terhadap ayat-ayat shifat yaitu pertama-tama menjauhkan dari makna zahirnya yang mewahamkan pada tajsim dan tasybih, kemudian mereka mentafwidh (menyerahkan) maknanya kepada Allah Ta’ala. Sebagian salaf ada yang mentakwil dan diikuti oleh sebagian kelompok Asy’ariyyah dengan takwil yang layak bagi keagungan Allah Ta’ala. Dua metode ulama salaf ini sama-sama memalingkan teks-teks sifat dari makna zahirnya yang tidak layak bagi keagungan Allah Ta’ala.  Dan mereka dalam arti lain tetap mengimani teks-teks sifat tersebut sebagaimana datangnya. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kaum Mu’aththilah yang sesungguhnya mereka membatalkan akan sifat-sifat Allah yang menyerupai sifat makhluk.

Mereka kaum Ahlus sunnah dari kalangan Asy’ariyyah yang mentakwil, tampil membatalkan hujjah ahlul bid’ah seperti mujassimah dan mu’aththilah engan menggembalikan penggunaan ayat-ayat mutasyabihat dan hadits-hadits yang samar kepada makna dan maksud yang sesuai dengan kebesaran dan keagongan Allah Ta’ala berdasarkan petunjuk bahasa Arab dan dalil-dalil akal dan naqal.

Asrie bin Shobrie mengatakan :
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah yang melazimi methode as-Salaf as-Soleh –radiallahu ‘anhum-, mereka beriman dengan sifat-sifat ALLAH ta’ala sesuai dengan kehendak ALLAH ta’ala dan sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam iaitu:
  • Beriman dengan semua sifat yang tsabit dalam al-Quran dan as-Sunnah yang Sahih mengikut zahirnya.
  • Menafikan segala sifat kekurangan dan ‘aib daripada ALLAH ta’ala.
  • Mendiamkan diri daripada bercakap dalam masalah sifat tanpa sandaran dalil yang sahih daripada Naqal.
Saya jawab :

Akidah salaf atau mayoritas ulama Ahlus sunnah wal-Jama’ah di dalam menyikapi teks-teks mutasyabihat adalah mengimaninya dan menyerahkan maknanya kepada Allah subhanahu wa ta’aala tanpa penyerupaan dan kafiyyahnya dan ada pula sebagian dari ulama salaf yang mentakwil teks- mutasyabihat untuk memberikan makna yang sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah subhanahu wa Ta’aala sebagaimana banyak dilakukan pula oleh ulama khalaf. 

Inilah dua metode yang sama-sama dilakukan ulama salaf dan ini merupakan fakta serta realita yang tidak bisa dipungkiri.

Point pertama yang ditulis Asrie jelas salah, kerana tak ada satu pun bukti ulama salaf memahami nash shifat dengan zahir maknanya sebagaimana telah saya uraikan di awal. Ibnu Khuzaimah telah membuat kesimpulan bahwa telah ijma’ kaum salaf tidak membicarakan makna dari nash-nash shifat, beliau mengatakan :


“ Para imam kaum muslimin dan perintis madzhab serta para pemimpin agama seperti Malik, Sufyan, al-Awza’i, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Yahya, Ibnul Mubarak, Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf, tidak membicarakan hal itu (ayat shifat) dan mencegah para pengikutnya mendalaminya serta menunjukkan mereka atas al-Quran dan Sunnah “.[14]

Ini jelas berbeda kenyataannya dengan Asrie dan kaum wahabi yang suka membicarakan makna dari nash-nash sifat dan ayat-ayat mutasyabihat. Maka jelas Asrie dan kaum wahabi menyelisihi metode ulama salaf, bahkan kaum wahabi justru yang tekena musibah dari Allah dengan sikap mereka yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan membuat fitnah sehingga menyesatkan orang lain sebagaimana dijelaskan oleh imam Abul Hayyan (754 H) ketika menafsirkan ayat ke tujuh dari surat Ali Imran berikut :

)) فيتبعون ما تشابه منه(( قال القرطبي: متبعو المتشابه إما طالبو تشكيك وتناقض وتكرير، وإما طالبو ظواهر المتشابه: كالمجمسة إذ أثبتوا أنه جسم، وصورة ذات وجه، وعين ويد وجنب ورجل وأصبع.

“((mereka yang mengikuti kesamaran daripadanya)):

“Imam Al-Qurthubi berkata: Mereka adalah yang mengikut mutasyabihat apakah menginginkan utk meragukan, atau mendakwa ada pertentangan dalam Al-Qur’an atau pengulangan. Ataupun, mereka yang meinginkan dhahir-dhahir mutasyabih seperti golongan mujassimah yang menetapkan bahawasanya Allah itu jisim, menetapkan rupa bentuk bagi zat itu adalah wajah, menetapkan mata, tangan, bahu, kaki dan jemari bagiNya…”

Point kedua yang ditulis Asrie itu justru kenyataanya berbeda, Asrie sadar atau tidak demikian juga kaum wahabi, telah menisbatkan sifat-sifat aib bagi Allah Ta’ala. Banyak sekali ulama wahabi yang menisbatkan sifat-sifat aib pada Allah, akibat pemahaman dangkal dan sempit mereka dalam agama Islam ini khususnya dalam masalah akidah sebagaimana akan saya contohkan kemunafikan dan kebodohan wahabi sebentar lagi.
Point ketiga yang ditulis Asrie itu jutsru kenyataanya banyak ulama wahabi yang bercakap dalam masalah sifat tanpa sandaran dalil yang sahih daripada naqal bahkan dengan hadits dhaif. Contoh :
Ibnul Qayyim pengagum Ibnu Taimiyyah yang menjadi ulama rujukan kaum wahabi mengatakan :

Pendapat imam muslimin yang dijuluki Penerjemah lisan al-Quran yaitu Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma: telah disebutkan oleh imam Baihaqi tentang firman Allah Ta’aala :
الرّحْمٰنُ  عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى

“ Ar-Rahman beristiwa di Arsy “ (QS. Thaha : 5)
Ibnu Abbas menafsirkannya : “ Istaqarra / bersemayam “.[15]
Imam Baihaqi menjelaskan bahwa riwayat itu adalah mungkar :

“….Riwayat tersebut (yang mengatakan Abdullah bin Abbas menafsirkan istiwa dengan bersemayam) adalah mungkar “.[16]

Di antara ulama Wahhabi yang membahas secara mendalam tentang bentuk rupa Allah adalah syaikh Hamud at-Tuwaijari hingga ia mengarang kitab dengan judul “ Aqidah ahli iman fii khlaqi Adam ‘alaa shuratir Rahman “ dan mendapat sambutan hangat dari Ibnu Baaz. 
Albani membuka kebusukan Hamud at-Tuwaijari tersebut yang mengambil dalil akidah dari hadits dhoif, perhatikan komentar Albani berikut ini :

“ Dalam kesempatan ini aku katakana : Sungguh telah berbuat buruk syaikh at-Tuwaijari terhadap akidah dan sunnah yang sahih secara bersamaan dengan karya tulisnya yang ia namai “ Aqidah ahli iman fii khlaqi Adam ‘alaa shuratir Rahman “, karena akidah itu tidak boleh kecuali harus dengan hadits yang sahih..” kemudian Albani mengatakan setelahnya : “ Bagaimana at-Tuwaijari mensahihkan hadits itu, sedangan ia tahu bahwa Ibnu Luhai’ah adalah seorang rawi yang dhaif, dsamping itu at-Tuwaijari telah mendistorsi tautsiqnya (pada halaman 27) walaupun dengan merubah ucapan para ulama hafidz hadits dan memotong ucapa mereka. Dia (at-Tuwaijari) berkata : “ Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata di dalam kitab at-Taqrib : “ Dia adalah shaduq “, sedangkan di tidak menampilkan ucapan Ibnu Hajar secara lengkapnya berikut : “ Ia mengalami kesalahan setelah kitabnya terbakar, sedangkan riwayat Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahb lebih adil lainnya “, Hadits ini bukanlah dari riwayat salah satunya, apa yang pantas disebut bagi orang yang menukil ucapan secara sepotong-potong dan menyembunyikan sebagian yang lainnya ? perbuatan at-Tuwaijari semacam ini sangat banyak tidak cukup menjelaskannya di ta’liq ini “.[17]

Dalam penjelasan Albani diketahui bahwa selain Hamud at-Tuwaijari berdalil dalam akidah dengan hadits dhaif, at-Tuwaijari juga telah melakukan kecurangan dengan memotong ucapan al-Hafidz Ibnu Hajar. Bahkan menurut Albani bukan hanya di sini saja at-Tuwaijari melakukan kecurangan, sangat banyak kecurangan dan ketidak amanatan yang dilakukan at-Tuwaijari.
Wahai Asrie, itu kah manhaj ulama salafmu, mereka kah ulama sunnahmu ??

Asrie mengatakan :

Adapun ((Zahir Nas)) menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah maksud yang jelas dalam bahasa ‘Arab yang difahami sesuai dengan qarinah-qarinah Nas dan tidak ada dalam al-Quran mahupun Hadis Nabawi zahir nas yang membawa waham Tasybih atau Tamsil, bahkan Zahir Nas adalah hak dan Tauhid kerana ALLAH ta’ala menyatakan dalam al-Quran; Kitab al-Quran adalah Kitab Hidayah dan penjelasannya adalah “Mubin” (sangat jelas dan terang).
Saya jawab :
Benarkah apa yang dikatakan oleh Asrie ini, bahwa Ahlus sunnah memahami teks mutasyabihat atau nash shifat dengan zahir nash ? benarkah ini ajaran atau metode ulama salaf ? jawabannya tidak sama sekali, itu hanyalah metode bid’ah ciptaan kaum wahabi saja, bukan metode Ahlus sunnah dan ulama salaf membebaskan diri dari metode bid’ah semacam itu
Al-Imam Badruddin bin Jama’ah[18]menegaskan tentang prinsip ulama salaf dalam menyikapi nash shifat sebagai berikut :

“ Barangsiapa yang menganut (mengaku) mengikuti ucapan ulama salaf, dan berucap dengan ucapan tasybih (penyerupaan) atau takyiif (visualisasi), atau membawa lafaz atas zahirnya dari apa yang Allah Maha Suci darinya berupa sifat-sifat baharu, maka dia telah berdusta mengaku mengikuti madzhab salaf, lepas dari ucapan dan keseimbangan salaf “. [19]

Imam Al-Qurthubi mengatakan :


“ Sungguh telah diketahui sesungguhnya madzhab ulama salaf adalah meninggalkan memperdalam (pembicaraan makna) disertai keyakinan mereka dengan kemustahilan zahir-zahirnya, maka mereka mengatakan : “ Laluilah sebagaimana datangnya “.[20]
Perhatikan kedua imam besar di atas mengatakan dengan tegas bahwa madzhab salaf itu adalah tidak memaknainya dengan makna zahir nash shifat, bahkan mereka yang membawa kepada zahirnya adalah berdusta dalam mengaku ikut madzhab salaf.
Imam asy-Syathibi mengatakan :
ومثاله في ملة الاسلام مذهب الظاهرية في اثبات الجوارح للرب المنزه عن النقائص من العين واليد والرجل والوجه المحسوسات والجهة وغير ذالك من الثابت للمحدثات
“ Dan misalnya (ahli bid’ah yang menyimpang dari ushul) di dalam agama Islam adalah madzhab Dhzahiriyyah (kelompok literalisme) yang menetapkan anggota tubuh (organ tubuh) bagi Allah yang Maha Suci dari segala kekurangan, berupa dari mata, tangan, kaki, wajah yang bersifat indrawi, arah dan selainnya dari penetapan hal-hal yang baru “.[21]
Mereka yang suka mengikuti tekstualitas berarti telah menetapkan jarihah (organ) kepada Allah, kaum semacam ini disebut oleh imam asy-Syathibi sebagai kaum bid’ah dalam ushul.


Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani berkata :

“ Ucapan : “ Allah Ta’ala turun di setiap malam “, Umat Islam berbeda pendapat dalam memehami makna turun, atas beberapa pendapat. Di antara mereka ada yang membawa maknanya atas zahirnya, mereka adalah kaum musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), dan Allah Maha Suci dari ucapan mereka ini. Di antara mereka ada yang mengingkari kesahihan hadits-hadits yang warid itu secara jumlah, mereka adalah kaum khowarij dan Mu’tazilah, ini adalah sebuah kesombongan nyata. Di antara mereka ada yang mentakwilnya. Di antara mereka ada yang melaluinnya atas apa yang datang, dengan mengimaninya dengan jalan pemahaman globalnya, dengan tetap mensucikan Allah dari kaifiyyah dan tasybih, mereka adalah madzhab mayoritas ulama salaf “[22].

Perhatikan ucapan Ibnu Hajar, seorang imam ahli hadits, amirul mukminin fil hadits mengatakan bahwa mereka yang membawa pada makna zahir adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Masih kah kurang jelas dengan ucapan ini wahai wahabi ? atau kalian akan menyesat-nyesatkan imam Ibnu Hajar ?? falaa haula walaa quwwata illaa billah...sesatkanlah semua ulama Ahlus sunnah wahai wahabi, Allah adalah penghisabmu...

Imam al-Abiy ketika menjelaskan hadits :
إن الله يمسك السموات على أصبع:

“ Sesungguhnya Allah menahan langit-langit di atas jari-jari “. Maka beliau mengomentarinya :

والحديث من أحاديث الصفات فيصرف الكلام عن ظاهره المحال الموهم للجارحة، ويكون فيه المذهبان المتقدمان، إما الإمساك عن التأويل والإيمان به على ما يليق، ويصرف علمه إلى الله تعالى، أو يتأول

“ Hadits itu termasuk hadits shifat, maka ucapan itu dipalingkan dari dhahirnya yang mustahil dan mewahamkan kepada organ tubuh. Maka ada dua madzhab terdahulu dalam menyikapinya, adakalanya menahan dari takwil serta mengimaninya terhadap makna yang layak bagi Allah dan menyerahkan ilmunya kepada Allah atau mentakwilnya “.[23]

Kemudian Asrie membawakan dalil-dalil al-Quran dan hadits yang dipalingkan maksudnya sesuai pemahaman jahilnya. Sama sekali ayat-ayat yang dibawakan tidak menunjukkan dalil nash shifat untuk membawa kepada makna zahirnya.

Asrie mengatakan :

Al-Imam Nu’aim bin Hammad al-Khuza’ie –rahimahullah- [w. 228 H] berkata:
من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر
Maksudnya: “Barangsiapa menyamakan ALLAH dengan makhluk-Nya maka dia telah kafir, barangsiapa mengingkari apa yang ALLAH telah sifatkan dengannya diri-Nya maka dia telah kafir”.

Saya jawab :

Memang benar apa yang diucapkan Imam Nu’aim bin Hammad tersebut, semua sifat Allah tidak mengandung tasybiih jika disikapi dengan sikap yang sesuai Allah perintahkan yaitu menyikapinya dengan sikap yang diterapkan ulama salaf yakni tafwidhul makna atau mentakwilnya sesuai takwil yang benar yang mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Namun apa yang dilakukan kaum wahabi justru sifat-sifat Allah menjadi tasybih kepada makhluk-Nya yaitu dengan menuruti makna zahirnya. Kaum wahabi justru memaknai ayat-ayat shifat Allah dengan apa yang terlintas dalam pikiran mereka seperti memaknai istiwa dengan bersemayam dan duduk. Inilah makna sebenarnya dari ucapan imam Nu’aim bin Hammad tersebut.

Asrie mengatakan :
Lalu al-Imam Ibn Katsir –rahimahullah- [w. 774 H] menyambung:
وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل الهدى
Maksudnya: “dan tiada pada apa yang ALLAH sifatkan dengannya diri-Nya itu tasybih dan tidak juga apa yang Rasul-Nya sifatkan akan Dia ada padanya Tasybih, maka barangsiapa yang menetapkan bagi ALLAH ta’ala apa yang datang dengannya ayat-ayat yang “jelas” dan khabar-khabar yang sahih sesuai dengan wajah yang layak bagi kebesaran ALLAH ta’ala dan menafikan daripada ALLAH ta’ala segala kekurangan maka dia telah menempuh jalan hidayah”. [Tafsir al-Quran al-'Azim, 1/762, Dar Kunuz Ishbilia]

Saya jawab :

Ini suatu bentuk manipulasi dan dutsa nyata dari Asrie atas nama al-Hafidz Ibnu Katsir dan mahu mengaburkan pembaca. Kenapa Asrie tidak menukil teks Ibnu Katsir secara lengkap dan utuh?? Sekarang kita simak teks sebelumnya yang tidak dinukil oleh Asrie ini :

Umat muslim dalam bab ini memiliki banyak pendapat, ini bukan tempatnya menejlaskan secara detailnya, dan sesungguhnya kami dalam bab ini hanyalah mengikuti mazhab salaf shalih, Malik, al-Awza’i, ast-Tsauri, Laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawih dan selain mereka dari para imam muslim sama ada dahulu atau belakangan, yaitu melalui ayat-ayat itu sebagaimana datangnya tanpa takyif, tasybih dan ta’thil. Dan Lafadz zahir yang terlintas di dalam pikiran musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk) dinafikan dari Allah Ta’ala yang tidak ada sesuatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupai Allah. Dan di dalamnya “ Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Bahkan sikap yang benar adalah sebagaimana dikatakan para imam seperti Nu’im bin Hammad : “Barangsiapa menyamakan ALLAH dengan makhluk-Nya maka dia telah kafir, barangsiapa mengingkari apa yang ALLAH telah sifatkan dengannya diri-Nya maka dia telah kafir. dan tiada pada apa yang ALLAH sifatkan dengannya diri-Nya itu tasybih dan tidak juga apa yang Rasul-Nya sifatkan akan Dia ada padanya Tasybih, maka barangsiapa yang menetapkan bagi ALLAH ta’ala apa yang datang dengannya ayat-ayat yang “jelas” dan khabar-khabar yang sahih sesuai dengan wajah yang layak bagi kebesaran ALLAH ta’ala dan menafikan daripada ALLAH ta’ala segala kekurangan maka dia telah menempuh jalan hidayah”.[24]

Dalam muka surat lainnya bahkan Ibnu Katsir sesekali mengikuti mazhab takwil, cuba perhatikan :

“ Dan langit kami bangun dengan “ aydin “ dan kami benar-benar meluaskannya “. (Ibnu Katisr menafsirkan) : “ Dan langit kami bangun”, maksunya adalah kami jadikan atap yang terjaga dan tinggi , “ Dengan ayidn “, maksudnya adalah dengan kekuasaan “, telah menafsirkan hal itu (dengan kekuasaan) Abbas, Mujahid, Qatadah, ast-Tsauri dan selain satu (banyak) “. [25]

Perhatikan dan renungkan wahaI Asrie dan wahabi, perhatikan ucapan Ibnu Katsir di atas..beliau mengikuti mazhab salaf yang mayoritas mereka tidak memahami nash shifat dengan makna zahirnya. Bahkan Ibnu Katisr membuktikan ada ulama salaf yang tidak sedikit yang juga mentakwil ayat shifat seperti contoh di atas, di antara ulama salaf yang juga mentakwil adalah Abbas, Mujahid, Qatadah, ast-Tsauri dan banyak lagi kata beliau. Ini juga merupakan bukti dan fakta bahwa kaum Asy’ariyyah dan Maturudiyyah mengikuti mazhab ulama salaf yang mayoritas mentafwidh makna nash-nash shifat dan sebagian lagi dari ulama salaf yang mentakwil. Masihkah Asrie dan kaum wahabi menolak ucapan Ibnu Katisr dan fakta kebenaran ini ??




Ibnu Abdillah Al-Katibiy & Shofiyyah An-Nuuriyyah
Kota Santri, 25-11-2022






[1]I’tiqad Ahlis Sunnah : 3/398
[2]Al-Mudhisy : 1/137
[3] al-Mufradaat fii Gharib al-Quran : 444

[4]Asma wa ash-Shifat : 452
[5]Al-Itiqad wal Hidayah : 1/117
[6]At-Tamhid : 7/144
[7]Tafisr al-Qurthubi :
[8]Tafsir al-Qurthubi : 1/291
[9]Al-‘Awashim min al-Qawashim : 228
[10]Ibid
[11]Al-I’tiqad wa al-Hidayah : 118
[12]Ruhul Ma’ani, Juz. 6, Hal. 80. Al Maktabah Asy Syamilah
[13]Fath al-Bari : 8/596
[14]Aqaawil ats-Tsiqaat : 62
[15] Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyyah, Ibnul Qayyim : 2/249, edisi tahqiq Dr. ‘Awad Abdullah, cetakan pertama, tt; 1988 M.
[16] Al-Asmaa wa ash-Shifat, imam al-Baihaqi : 383, maktabah al-Azhar li at-Turats
[17] Sahih al-Adab al-Mufrad , Albani : 375
[18]Ibnu Katsir berkata : “ Beliau adalah Ibnu Jama’ah seorang Qadhi dari semua Qadhi, seorang alim, syaikh Islam, mendengar hadits dan sibuk dengan ilmu, sehingga mendapatka ilmu yang bermacam-macam dan menjadi unggul dari sahabat-sahabatnya. Semua itu disertai sifat kepemimpinan, kewibawaan, kehormatan, wira’i, sabar dari gangguan orang lain, dan ia memiliki karya-karya tinggi yang bermanfaat “. Al-Bidayah wa an-Nihayah : 14/163
[19]Iydhah ad- Dalil fi Qat’i Hujaji Ahli ath-Ta’thil : 93
[20]Al-Jami’ li Ahkaam al-Quran : 4/12
[21]Al-I’tisham : juz 1 halaman : 240, cetakan Dar al-Fikr-Maktabah lir Riyadh al-Haditsah- Bathah-Riyadh
[22]Fath al-Bari : 3/30
[23]Syarh Sahih Muslim, al-Abiy : 1/190
[24]Tafsir Ibnu Katisr : 2/294
[25]Tafsir Ibnu Katisr : 4/303

Tidak ada komentar:

Posting Komentar