Senin, 24 Oktober 2022

Mengapa Menteri Agama Bukan Kader NU?


Oleh Suryono Zakka

Hal inilah yang menjadi perbincangan terutama warga NU, baik yang merespon positif maupun negatif. Menyikapi keputusan Jokowi yang telah menetapkan Jenderal (Purn.) Fachrul Razi sebagai Menag yang dianggap bukan kader NU. Kita paham bahwa kader NU hampir selalu menduduki posisi jabatan Kemenag dalam setiap kabinet.

Saya sebagai warga NU, termasuk bagian dari kelompok yang merespon positif. Strategi politik Jokowi adalah strategi politik yang matang, cerdas dan lincah. Sulit untuk dipahami. Tanpa perhitungan yang matang, setiti dan ati-ati tentu mustahil Jokowi bisa menjadi presiden terpilih dua periode. Sosok sederhana, bersahaja dan bukan pendendam. Politik yang dipakai Jokowi adalah politik perdamaian. Memperkaya kabinetnya dengan beragam latar belakang keilmuan agar Indonesia bisa menjadi negara yang maju diberbagai bidang.

Walau Menag bukan kader NU dalam arti bukan kader struktural dan tidak memiliki pendidikan akademik keislaman yang mumpuni namun kita patut mengapresiasi Jokowi yang telah memilih wakilnya dari kader NU yakni KH. Ma'ruf Amin. Belum lagi tokoh-tokoh lain yang  punya ikatan kultural dan emosional dengan warga NU juga diangkat sebagai menteri seperti Prof. Mahfud MD sebagai Menkopolhukam dan Tito Karnavian menduduki posisi Mendagri dan menteri yang lain yang masih memiliki darah NU.

Kita tahu bahwa Prof. Mahfud MD dan Tito paling banyak dimusuhi oleh kelompok radikal. Itu artinya Jokowi bukan menganaktirikan NU atau antipati terhadap NU. Jokowi tetap konsisten satu barisan bersama NU menghadang kelompok radikal. Jika Jokowi anti NU tentu tidak akan berani membubarkan HTI dan tidak akan meresmikan Hari Santri Nasional yang direkomendasikan oleh NU serta kebijakan lain yang membawa manfaat bagi NU.

Kita paham bahwa selama ini NU menghadapi arus deras kelompok radikal secara sendirian. Bahkan NU siap di-bully mati-matian demi kokohnya Pancasila tak peduli apakah itu mendapat respon dari pemerintah atau diabaikan. Artinya, pemerintahan Jokowi yang dulu masih terkesan lamban atau bimbang dalam menanggulangi radikalisme. Buktinya masih banyak kelompok atau ormas radikal selain HTI yang masih panjang umur. Hal ini bisa dimaklumi karena pada periode pertama Jokowi fokus pada infrastruktur sehingga penanggulangan terorisme masih nomer kesekian kali.

Berbeda dengan kabinetnya pada Jilid 2 ini, Jokowi ingin lebih serius lagi dalam membasmi kelompok radikal. Kaum jenderal siap menjadi bamper pemerintah sekaligus sebagai bomber  meluluhlantakkan sisa kaum radikal. Jokowi cepat merespon kritik dari tokoh-tokoh NU bahwa Pemerintah kurang serius mencegah radikalisme. Jokowi ingin membuktikan bahwa kabinet jilid 2 ini benar-benar akan menghanguskan gerakan radikal tanpa sisa. Jika dulu Jokowi masih kalem maka sekarang Jokowi menunjukkan sikap ksatrianya. Jokowi tidak akan mengalah dan tidak akan tinggal diam lagi membasmi kaum radikal. Siap menggebuk kaum radikal sampai sekarat.

Akar radikalisme bersumber dari ajaran agama yang salah dipahami. Isu dan jargon agama kerap dijadikan bumbu kaum radikal. Tak salah jika Jokowi ingin mensterilkan Kemenag dari kelompok radikal disaat kementerian-kementerian lain sudah disusupi gerakan radikal. Jokowi ingin membuktikan bahwa Kemenag tak selamanya lemah sehingga selalu menjadi bahan olok-olok kaum radikal. Kita ingat kemarin betapa kejinya kaum radikal menebar fitnah mulai dari isu LGBT hingga anti Islam.

Jokowi mengerti bahwa warga NU tidak gila jabatan sehingga akan mampu bersikap dewasa dalam memahami kebijakannya sehingga berani untuk tidak mengisi kader NU sebagai Menag. Kebijakan Jokowi ini juga dapat menangkis tudingan kelompok anti-NU yang selama ini menganggap bahwa NU meminta pamrih dari Jokowi karena mayoritas warga NU mendukung Jokowi.

Sama sekali tidak. Salah besar jika NU meminta "uang keringat" dengan imbalan jatah menteri sebab politik yang dipakai NU adalah politik kebangsaan yakni cita-cita untuk tetap setia pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Jika selama ini Pemerintah selalu mendudukkan kader NU sebagai menteri bukan berarti NU yang minta tapi kesadaran dari pemerintah karena telah berhutang budi pada NU. NU sudah banyak berkontribusi bagi negeri sebelum NKRI berdiri.

Perlu diingat bahwa bukan berarti Jokowi tak perlu kader NU yang agamis, namun saat ini Jokowi butuh tokoh yang militeristik untuk membungkam kaum radikal. Toh menduduki jabatan Menag bukan berarti segala persoalan di Kemenag harus diselesaikan oleh Menag melainkan ada bagian masing-masing. Jadi Jenderal Purn. Fachrul Razi bukan berarti mengurusi segala hukum syariat Islam di Kemenag. Apa yang diduduki Facrul Razi bukan semata mengurusi hukum Islam atau seputar agama Islam melainkan mengurusi kehidupan beragama yang diakui oleh Pemerintah. Ada masanya jika suatu saat Menag akan diisi oleh kader NU tulen lagi.

Walau Purn. Fachrul Razi tidak terlihat sebagai kader NU secara kultural dan struktural akan tetapi nampak sebagai kaum militer, namun beliau memiliki jejak sebagai penganut thariqah. Itu berarti beliau berakidah Aswaja yang berarti punya kaitan ideologis dengan NU. Kalaupun ada pihak-pihak yang mengetahui jejak beliau sebagai pengurus ormas Non-NU (baca: Mathla'ul Anwar) namun beliau tidak punya jejak sebagai pelaku radikal atau anti-Pancasila.

Saatnya NU bersikap dewasa dengan tidak gegabah oleh kelompok-kelompok anti NU atau pemecah belah yang mengatasnamakan NU. Selamanya NU tidak akan memusuhi pemerintahan yang sah dan akan terus mendukung keputusan pemerintah selama dalam koridor maslahah. Bukan karena haus jabatan dan bukan karena politik uang. NU tetap punya kewajiban memberikan kritik terhadap pemerintah dengan sikap-sikap yang santun dan konstitusional. Jangan sampai NU pecah hanya gegara tak dapat kursi Kementerian Agama.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar