Sabtu, 24 Desember 2022

Merawat Toleransi ditengah Pluralitas


Oleh Suryono Zakka

Pluralitas adalah anugerah Tuhan yang wajib disyukuri bukan untuk ditakuti atau dibenci. Sayangnya, bangsa kita belum cukup dewasa dalam menerima pluralitas. Buktinya, beragam konflik baik suku maupun agama masih kerap terjadi. Padahal kita merdeka dan sejarah terbentuknya negara ini sudah cukup lama. Bukan kemarin sore.

Pluralitas ini seharusnya menjadi modal kita untuk melangkah dan bangkit menjadi bangsa yang besar. Bukan hanya menjadi bangsa yang banyak jumlah penduduknya. Apa yang bisa dibanggakan dengan jumlah penduduk yang banyak namun rendah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Setiap harinya kita hanya selalu sibuk dan ribut masalah agama.

Bangsa kita selalu dan selalu diributkan dengan hukum halal, haram, kafir, musyrik dlsb. Hukum syariah yang seharusnya hadir menjadi jalan keselamatan dan kemudahan dalam menjalani kehidupan malahan menjadi alat untuk memonopoli kebenaran. Agama kerap dijadikan alat untuk menerakakan orang lain yang tak sepaham. Agama dijadikan dalil yang gurih untuk mencaci maki dan menghina kelompok lain.

Jangankan kepada non-muslim, pada sesama muslim saja tak jarang mengecap liberal, kafir dan bid'ah. Terlebih, non-muslim dianggap tidak punya andil bagi negeri ini. Prinsip syariah yang semula menjadi jalan hidup bagi setiap pribadi muslim, menjelma menjadi ideologi politik untuk membentuk negara. Negara syariah yang konon kata antek-anteknya bebas dari kaum kafir dan thaghut.

Beranda kita masih ramai dengan perdebatan tentang hari ibu, jaga gereja, ucapan selamat natal dan sebagainya yang sebenarnya hanya mengulang perdebatan masa lalu yang tak kunjung selesai. Fikih ikhtilaf yang seharusnya menjadi warna kekayaan pendapat berubah menjadi ajang memperebutkan surga. Kiai Hasyim Muzadi pernah dawuh bahwa orang yang sibuk mengoreksi keyakinan orang lain pertanda bahwa dia tidak yakin dengan keyakinannya sendiri. Semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin besar toleransinya. Begitu kata sang Guru Bangsa, Gus Dur.

Surga dan rahmat Allah itu sangat luas. Namun sayangnya kini dipersempit oleh mereka yang sedang belajar agama dengan semangat menyala-nyala tanpa diimbangi dengan mental yang sehat. Merekalah yang disebut kaum pengkapling surga. Akibatnya, belajar agama bukan semakin waras namun malah semakin gila. Mabuk dan overdosis karena agama. Yang dulunya belum hijrah ngakunya merasa sebagai hamba pendosa, kini setelah hijrah merasa paling suci sedunia.

Islam telah mengajarkan bahwa Tuhan memberikan anugerah perbedaan diantara kita agar saling mengenal bukan untuk saling memaki. Islam telah mengajarkan lana a'maluna walakum a'malukum bahwa setiap amal yang kita lakukan, kita sendirilah yang akan mempertanggungjawabkannya. Tapi mengapa ada orang yang sibuk dengan amalan orang lain bahkan cap kafir hanya berbeda amal. Islam mengajarkan lakum dinukum waliyadin. Setiap hamba bebas beragama sesuai dengan keyakinan maka biarlah setiap manusia bebas memilih dan menjalankan agama tanpa intimidasi. Biarlah Tuhan yang menentukan siapa ahli surga dan siapa ahli neraka. Tak perlu menggusur peran Tuhan.

Sudah cukup lelah rasanya kita ribut masalah agama. Saatnya kita merawat toleransi yang telah diwariskan oleh pendahulu kita. Toleransi yang hampir punah ini harus kita pupuk agar semi kembali sehingga negeri kita tidak hancur berantakan. Cukuplah negeri-negeri yang telah hancur menjadi pelajaran agar kita tidak bernasib sama. Jangan sampai Tuhan murka hanya karena kita tidak mampu mensyukuri nikmat kebhinekaan yang telah diberikan-Nya.

Mari kita rawat negeri kita dengan senjata pusaka, kalimatun sawa' (kalimat pemersatu) yakni Pancasila. Pancasila sudah sekian lama teruji menyatukan kita walau kita berbeda dalam agama dan suku bangsa. Tak perlu kepincut kaum asing yang berniat mengganti ideologi lain dengan alasan syariat sebab Pancasila sudah sesuai dengan syariat. Ketahuilah bahwa mengganti Pancasila adalah kebodohan walau dengan topeng agama. Selamat berbhinneka!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar