Selasa, 13 Desember 2022

BID'AH HASANAH, BID'AH LUGHATAN DAN MASLAHAH MURSALAH : Menjawab syubhat wahabi Malaysia part I


بسم الله والصلاة والسلام على رسول الله سيدنا محمد بن عبد الله وعلى اله وصحبه ومن والاه ولا حول ولا قوة الا با الله اما بعد :

Nabi shallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda :

أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

" Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid'ah. Dan semua bid'ah itu sesat."

Mengkaji bid`ah sama artinya dengan mengkaji hadits tersebut, hadits yang sering dijadikan andalan kaum wahabi atau salafi untuk menuduh bid`ah dan melarang kepada mayoritas umat Islam dari melakukan segala bentuk hal baru yang tidak dilakukan di zaman Rasul. Yah ..tak heran karena jika dilihat sepintas hadits ini  menyatakan bahwa semua hal baru ( bid’ah ) adalah sesat. Maka mereka  menganggap bahwa untuk menjadi seorang islam yang tha`at maka dia harus memiliki sifat alergi pada hal-hal baru. Dan pandangan seperti ini sayangnya bukan hanya dilontarkan oleh orang-orang yang membenci islam, bahkan  mereka yang mengaku sebagai pembela islam banyak yang melontarkan pendapat ini. Saking alerginya mereka dengan hal baru, setiap ada hal-hal yang mereka anggap tak pernah ada di zaman rasul,  tak segan-segan mereka nyatakan sebagai bid`ah. Maulid bid`ah, Tahlilan bid`ah, Shalawat Badr bid`ah, bid`ah, bid`ah dan bid`ah.. yang lebih mengherankan diantara mereka masih ada yang menyatakan bahwa tasbih, sajadah, sampai celana panjang sebagai bid`ah yang menyesatkan. Maka lengkaplah sudah titel jumud dan terbelakang disandang oleh umat islam.

Herannya ulama-ulama seperti ini merasa bangga dengan titel terbelakang ini merasa terhormat dengan keterasingannya dan pendapat-pendapatnya yang syadz (asing). Dan menyangka merekalah para ghuraba` (orang-orang asing) yang disebut Rasul dalam haditsnya :
 إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبيا . فطوبى للغرباء

“ Islam dimulai dalam keterasingan dan akan kembali asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”
Akan tetapi lupa sabda Rasul :
إِنَّ أُمَّتِى لَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ. سنن ابن ماجه
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kalian melihat pertentangan maka ikutilah kelompok terbesar

mereka merasa bahwa dirinya telah membela islam padahal karena sebabnya umat islam terpecah saling tuduh bid`ah satu sama lain dan mereka merasa telah menyeru kepada islam padahal sebenarnya mereka membuat orang lari dari islam.

Pandangan dan pemahaman bid’ah mereka yang menyempal dari pandangan dan pemahaman mayoritas ulama, menyebabkan terus terjerembab (terjerumus) pada pemahaman yang salah dan bahkan sesat menyesatkan. Sikap angkuh dan sombong mereka untuk menerima pemahaman bid’ah mayoritas ulama, mengakibatkan butanya mereka dari fakta dan realita kebenaran yang seharusnya mereka terima dengan lapang dada. Menyebabkan mereka saling tuduh bid`ah karena perbedaan cara ibadah padahal yang mereka tuduh bid`ah sebenarnya adalah perbedaan madzhab, atau perbedaan ulama dalam masalah fiqhiyah. Seperti masalah terjemah khutbah, qunut, menggerakan jari dalam tahiyyat, bilangan tarawih dan lain-lain. Ada juga yang begitu tekun melakukan sesuatu yang dia anggap ibadah, tapi pada kenyataanya apa yang dia lakukan adalah bid`ahyang perlu dijauhi.

Dalam artikel yang ditulis Dr Mohd Asri Zainal Abidin tentang pemahaman bid’ah dan kritikannya terhadap pembagian bid’ah yang diklaimnya kesalah pamahaman yang sudah sejak lama dipahami mayoritas umat muslim ini, isinya tidak jauh berbeda dengan tulisan-tulisan kaum wahabi lainnya. Penuh pemahaman dan hujjah yang terlalu dipaksa-paksakan dan kurang cermat memahami ucapan-ucapan para ulama tentang definsi bid’ah. Sehingga kami akan mengkritik kembali tulisannya dan mengupas kesalahannya dalam berhujjah. Semoga kritikan ini menjadi renungan kembali bagi Dr Maza dan kaum wahabi lainnya, lebih-lebih mereka mau kembali kepada kebenaran yang nyata di depan mata mereka, dan semoga ini bermanfaat bagi saudara-saudara kami Ahlsus sunnah wal Jama’ah. Aamiin..

Dr Mohd Asri Zainal Abidin mengatakan :

Huraian al-Imam al-Syatibi Terhadap Ta’rif Bid‘ah

al-Imam al-Syatibi rahimahullah setelah memberikan ta’rif ini, tidak membiarkan kita tertanya-tanya maksudnya, sebaliknya beliau sendiri telah menghuraikan maksud ta’rif ini. Di sini dinyatakan beberapa poin penting huraian al-Imam al-Syatibi:

Pertama:

Dikaitkan jalan (طريقة) dengan agama kerana rekaan itu dilakukan dalam agama dan perekanya menyandarkan kepada agama. Sekiranya jalan rekaan hanya khusus dalam urusan dunia ia tidak dinamakan bid‘ah, seperti membuat barangan dan kota. Oleh kerana jalan rekaan dalam agama terbahagi kepada apa yang ada asalnya dalam syariat dan kepada apa yang tiada asalnya dalam syariat, maka dimaksudkan dengan ta’rif ini ialah bahagian rekaan yang tiada contoh terdahulu daripada al-Syari’ (Pembuat syariat iaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala).

Ini kerana ciri khas bid‘ah ialah ia terkeluar daripada apa yang digariskan oleh al-Syari’. Dengan ikatan ini maka terpisahlah (tidak dinamakan bid‘ah) segala yang jelas – sekalipun bagi orang biasa – rekaan yang mempunyai kaitan dengan agama seperti ilmu nahu, saraf, mufradat bahasa, Usul al-Fiqh, Usul al-Din dan segala ilmu yang berkhidmat untuk syariat. Segala ilmu ini sekalipun tiada pada zaman yang awal, tetapi asas-asasnya ada dalam syarak.

Justeru itu, tidak wajar sama sekali dinamakan ilmu nahu dan selainnya daripada ilmu lisan, ilmu usul atau apa yang menyerupainya yang terdiri daripada ilmu-ilmu yang berkhidmat untuk syariat sebagai bid‘ah.  Sesiapa yang menamakannya bid‘ah, sama ada atas dasar majaz (bahasa kiasan) seperti ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu 'anh yang menamakan bid‘ah solat orang ramai pada malam-malam Ramadhan, atau atas dasar kejahilan dalam membezakan sunnah dan bid‘ah, maka pendapatnya tidak boleh dikira dan dipegang.

Kedua:

Maksud (تضاهي الشرعية) ialah menyerupai jalan syarak sedangkan ia bukanlah syarak pada hakikatnya. Bahkan ia menyanggahi syarak dari beberapa sudut:

Antaranya: Meletakkan batasan-batasan[10] seperti seseorang yang bernazar untuk berpuasa berdiri tanpa duduk, berpanas tanpa berteduh, membuat keputusan mengasing diri untuk beribadah, menghadkan makanan dan pakaian dari jenis tertentu tanpa sebab.

Antaranya: Beriltizam dengan cara (kaifiyyat كيفيات) dan bentuk (haiat هيئات ) tertentu.[12] Ini seperti zikir dalam bentuk perhimpunan dengan satu suara, menjadikan perayaan hari lahir Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan seumpamanya.

Antaranya: Beriltizam dengan ibadah tertentu dalam waktu tertentu sedangkan tidak ada penentuan tersebut dalam syarak. Ini seperti beriltizam puasa pada hari Nisfu Sya’ban dan bersolat pada malamnya.

Kemudian bid‘ah-bid‘ah tersebut disamakan dengan perkara-perkara yang disyariatkan. Jika penyamaan itu adalah dengan perkara-perkara yang tidak disyariatkan maka ia bukan bid‘ah. Ia termasuk dalam perbuatan-perbuatan adat kebiasaan.

Ketiga:

Maksud (يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله): “Tujuan mengamalkannya untuk berlebihan dalam mengabdikan diri kepada Allah” ialah menggalakkan ibadah. Ini kerana Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepadaKu. [al-Zariyat 51:56]

Seakan-akan pembuat bid‘ah melihat inilah tujuannya. Dia tidak tahu bahawa apa yang Allah tetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan-Nya sudah memadai.

Seterusnya al-Imam al-Syatibi menjelaskan:

Telah jelas dengan ikatan ini (yang dijelaskan) bahawa bid‘ah tidak termasuk dalam adat. Apa sahaja jalan yang direka di dalam agama yang menyerupai perkara yang disyariatkan tetapi tidak bertujuan beribadah dengannya, maka ia terkeluar dari nama ini (bid‘ah).[16]

 Kesimpulan Ta’rif al-Imam al-Syatibi

Daripada apa yang dita’rifkan dan dihuraikan oleh al-Imam al-Syatibi rahimahullah, dapat dibuat beberapa kesimpulan:

Bid‘ah ialah jalan syarak yang baru di reka dan dianggap ibadah dengannya. Adapun membuat perkara baru dalam urusan dunia tidak boleh dinamakan bid‘ah.

Bid‘ah ialah sesuatu yang tidak ada asal dalam syariat. Adapun apa yang ada asalnya dalam syariat tidak dinamakan bid‘ah.

Ahli bid‘ah menganggap jalan, bentuk, cara bid‘ah mereka adalah satu cara ibadah yang dengannya mereka mendekatkan diri kepada Allah.

Bid‘ah kesemuanya buruk. Apa yang dinamakan Bid‘ah Hasanah yang membabitkan perkara-perkara duniawi bukanlah bid‘ah pada istilahnya.

Saya jawab :

Sementara (setakat) ini, pemahaman dan kesimpulan Dr Maza dari penjelasan asy-Syathibi tidak berbeda dengan pemahaman kami (Aswaja).

Ketahuilah wahai saudaraku, mereka para ulama Aswaja yang membagi bid’ah menjadi bid’ah sayyiah atau madzmumah dan bid’ah hasanah atau mahmudah, tidak ada lain adalah bid’ah dalam segi bahasa dalam pandangan asy-Syathibi.

Kita sepakat bahwa bid’ah syar’iyyah adalah perkara baru yang tidak ada  asal dalam syare’at. Inilah bid’ah syar’iyyah yang dimaksud ketika kita menyebutnya secara muthlaq.
Kesimpulan Imam asy-Syathibi mengatakan “ Apa yang ada asalnya dalam syariat tidak dinamakan bid‘ah “. Bagi kami (Aswaja) ini hanyalah perbedaan istilah saja, akan tetapi intinya sama yakni sama-sama meyakini perkara baru yang tidak ada asal dalam syare’atnya adalah bid’ah syar’iyyah dan itu terlarang.

Yang menjadi persoalan adalah asy-Syathibi tidak mau menyebut bid’ah pada perkara baru yang ada asal dalam syare’atnya, beliau menyebutnya bukan bid’ah akan tetapi itu bid’ah dari segi bahasa atau masuk kategori Mashalih Mursalah,  namun kami (Aswaja) mengatakan tidak ada masalah menyebutnya bid’ah hasanah. Yang perlu direnungi Dr Maza dan kaum wahabi lainnya adalah bahwa asy-Syathibi membolehkan perkara baru yang memiliki asal dalam syare’at, meskipun beliau tidak mau menyebutnya bid’ah, hal ini sama persis dan sepakat (selari) dengan pemahaman kaum Ahlus sunnah wal jama’ah (Aswaja), akan tetapi Aswaja membolehkan menyebutnya dengan bid’ah hasanah. Subtansi pemahamannya sama, namun beda penyebutan dan istilahnya. Ini tidaklah menjadi permasalahan apalagi sampai disesat-sesatkan ulama yang membaginya menjadi bid’ah sayyiah dan bid’ah hasanah padahal subtansinya tidak berbeda.

Hal ini telah diakui sendiri oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawanya, sayangnya Dr Maza tidak menoleh pada ucapan Ibnu Taimiyyah ini sedikit pun, bahkan Ibnu Taimiyyah membagi bid’ah pada bid’ah wajib dan mustahab, apakah Dr Maza akan konsisten mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah salah paham atau sesat karena telah membagi bid’ah menjadi bid’ah wajib dan bid’ah mustahab ? renungi ucapan Ibnu Taimiyyah berikut ini :

بل هذا وما يشبهه من البدع المحدثة التى لم يستحبها أحد من أئمة المسلمين ,فليست واجبة ولا مستحبة باتفاق المسلمين ,وكل بدعة ليست واجبة ولا مستحبة فهى بدعة سيئة , وهى ضلالة باتفاق المسلمين ,ومن قال فى بعض البدع انها بدعة حسنة فإنما ذلك اذا قام دليل شرعى أنها مستحبة ,فأما ما ليس بمستحب ولا واجب فلا يقول أحد من المسلمين أنها من الحسنات التى يتقرب بها الى الله


“ …Akan tetapi hal (benda) ini dan yang semisalnya adalah termasuk bid’ah yang baru yang tidak dianjurkan seorang pun dari para imam muslimin, bukan bid’ah wajib dan bukan bid’ah mustahab dengan kesepakatan muslimin. Dan setiap bid’ah yang bukan wajib atau mustahab, maka itu adalah bid’ah sayyiah, itu adalah sesat dengan kesepakatan kaum muslimin. Dan siapa yang mengatakan pada sebagian bid’ah bahwa itu bid’ah hasanah, maka hal itu jika ada dalil syar’inya bahwa itu mustahab, adapun jika perkara itu bukan mustahab dan bukan wajib, maka tidak boleh seorang pun dari kaum muslimin mengatakan itu termasuk kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah “. [1]

Komentar saya :

Ini artinya Ibnu Taimiyyah membagi bid’ah menjadi bid’ah wajibah dan bid’ah mustahabbah, mafhum dari ucapan Ibnu Taimiyyah tersebut adalah jika bid’ah tersebut ada anjuran dari para imam kaum muslimin, maka bid’ah tersebut tidak dikatakan bid’ah sayyiah atau dholalah (Sesat). Dan ini adalah sebagaimana pembagian bid’ah ulama fiqih di antaranya imam al-‘Izz bin Abdissalam yang membagi bid’ah menjadi lima; bid’ah wajibah, mustahabbah, muharramah, makruhah dan mubahah. 

Meskipun penerapannya dalam hal ini (tawassul kepada Nabi setelah wafat) disalah asumsikan. Karena yang benar, bahwa hal itu bukanlah bid’ah sayyi’ah akan tetapi sunnah sebab telah dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi.

Pada kesempatan lainnya Ibnu Taimiyyah mengatakan :

وأما ما سوى التأذين قبل الفجر من تسبيح، ونشيد، ورفع الصوت بدعاء، ونحو ذلك في المآذن؛ فهذا ليس بمسنون عند الأئمة، بل قد ذكر طائفة من أصحاب مالك والشافعي وأحمد أن هذا من جملة البدع المكروهة، ولم يقم دليل شرعي على استحبابه، ولا حدث سبب يقتضي إحداثه حتى يقال إنه من البدع اللغوية التي دلت الشريعة على استحبابها
“ Adapun selain adzan sebelum fajar seperti tasbih, nasyid, mengangkat suara dengan doa dan semisalnya di tempat-tempat adzan, maka ini bukanlah sunnah menurut para imam, bahkan sungguh telah menyebutkan sekelompok ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyyah bahwa ini termasuk bid’ah makruhah dan tidak ada dalil syar’inya yang menunjukkan keanjurannya, tidak pula ada sebab yang mewajibkan pengadaanya untuk dikatakan termasuk bid’ah lughowiyyah (segi bahasa) yang syare’at menunjukkan atas keanjurannya “.[2]  
Komentar kami :

Ibnu Taimiyyah jelas mengakui bahwa sekelompok ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyyah mengakui adanya bid’ah makruhah. Dan Ibnu Taimiyyah mengakui bahwa jika ada dalil sya’re’atnya yang menunjukkan istihbabnya, dan ada sebab yang mewajibkan untuk melakukan perkara baru itu, maka perkara baru itu disebut bid’ah lughowiyyah.
Ibnu Taimiyyah mengakui hal ini meskipun beliau salah (silap) karena yang benar adalah mayoritas ulama dari semua kalangan madzhab yang empat sepakat atas pembagian bid’ah tersebut, bukan sekelompok (thaifah) sahaja.

Dengan realita ini, apakah Dr Maza menyalahkan Ibnu Taimiyyah atau akan mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah salah paham terhadap definsi (ta’rif) bid’ah ??

Perhatikan dan renungkan pula ucapan Ibnu Rajab al-Hanbali berikut ini :

وأمّا ما وقع في كلام السلف من استحسان بعض البدع فإنّما ذلك في البدع اللغوية لا الشرعية، فمن ذلك قول عمر رضي الله عنه لمّا جمع النّاس في قيام رمضان على إمام واحد في المسجد، وخرج ورآهم يصلون كذلك، فقال: نعمت البدعة هذه
“ Dan adapun apa yang terjadi pada ucapan ulama salaf dari menganggap baik (hasanah) pada sebagian bid’ah, maka sesungguhnya itu hanyalah dalam bid’ah segi bahasa saja bukan segi syar’iyyah. Di antara contoh hal itu adalah ucapan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ketika mengumpulkan manusia untuk mendirikan sholat malam di bulan Ramadhan pada satu imam di dalam masjid, beliau keluar dan melihat mereka sholat seperti itu, maka beliau berkata “ Sebaik-baik bid’ah adalah ini “. [3]

Pemahaman Ibnu Rajab menguatkan pemahaman kami (Aswaja) bahwa perkara baru atau bid’ah yang sering disebut oleh ulama salaf sebagai bid’ah hasanah adalah dalam konteks dan pandangan bid’ah segi bahasa saja bukan syar’iyyah. Ibnu Rajab lebih mengakui penyebutan bid’ah pada perkara baru dalam agama, meskipun beliau menyebutnya bukan bid’ah hasanah namun bid’ah lughawiyyah. Hal ini sekali lagi bukanlah masalah bagi kami, karena ini hanyalah perbedaan istilah saja, perbedaan lafaz saja, akan tetapi inti atau subtansi pemahamannya sama tidak berbeda.
Lebih jelas lagi Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :
والمراد بالبدعة: ما أحدث ممّا لا أصل له في الشريعة يدل عليه، فأمّا ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعًا، وإن كان بدعة لغة
“ Yang dimaksud dengan bid’ah adalah :  Segala perkara baru yang tidak ada asalnya dalam syare’at yang menunjukkan atasnya. Adapun perkara baru yang ada asal dari syare’at yang menunjukkan atasnya, maka bukanlah bid’ah dalam segi syare’atnya, walaupun itu bid’ah dalam segi bahasanya “. [4]

Begitu jelas Ibnu Rajab mengatakan bahwa perkara baru yang ada landasan syare’atnya disebut bid’ah dalam segi bahasanya dan bukan bid’ah dalam segi syare’atnya artinya boleh dilakukan. Hal ini sesuai (selari) dengan pemahaman kami (syafi’iyyah) selama ini yang memahami bahwa setiap perkara yang memiliki landasan dalam syare’atnya adalah boleh dilakukan meskipun saling berbeda di dalam menamai perkara tersebut. Ibnu Rajab dan asy-Syathibi menyebutnya bukan bid’ah, ada yang menyebutnya bid’ah lughowiyyah, ada pula yang menyebutnya maslahah mursalah dan ulama syafi’iyyah menyebutnya bid’ah hasanah. Semua ini hanyalah perbedaan dalam lafaznya saja, adapun subtani pemahamannya sama, tidak berbeda.

Hal ini sesuai dengan pemahaman imam Syafi’i :

المحدثات من الأمور ضربانأحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة 
والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة

“Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al Quran, Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka tidak ada khilaf bagi seorangpun mengenainya bahwa hal baru ini tidak tercela..”[5]

Dengan jelas imam Syafii menyatakan bahwa tidak ada khilaf sedikitpun mengenai kebolehan hal baru yang baik, ini menunjukkan bahwa para ulama di zaman Imam Syafi’i hampir seluruhnya telah memilah bid`ah kepada yang baik dan yang buruk. 
Seorang ulama pakar bahasa Arab ; al-Hafidz Ibnu al-Arabi mengatakan :

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ 
السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ
Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.[6]

Artinya beliau mengaskan bahwa perkara baru meskipun secara bahasa disebut bid’ah atau muhdats, tidaklah tercela jika tidak mneyalahi sunnah dan tidak mengajak kepada kesesatan.

Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini sesungguhnya bersumber dari beberapa hadits sahih di antaranya hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata, “ Rasulullah bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak bersumber darinya (syare’at), maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “ Yang tidak bersumber dari Agama ”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Kota Santri, 11-12-2022













[1]Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah : 1/162
[2]Al-Fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyyah : 5/321
[3]Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab : 2/128
[4]Fath al-Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali : 13/254
[5]Diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi dengan sandanya dalam kitab Manaqib asy-Syafi’I : 1/469. Juga ada disebutkan dalam kitab al-Hawi lil Fatawa, as-Suyuthi : 1/276
[6]Al-Irsyad ila Sahih al-I’tiqad : 1/298. Disebutkan juga dalam kitab itqan ash-shun’ah, syaikh Abdullah al-Ghumari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar