Jumat, 03 Maret 2023

Mencium Mushaf Al-Qur'an, Mana Dalilnya?


Oleh Suryono Zakka

Yazid Jawas Al-Wahabi mempersoalkan umat Islam yang mencium mushaf Al-Qur'an. Menurutnya, memuliakan Al-Qur'an bukan dengan dicium namun dengan cara mempelajarinya.

Berikut beberapa dalil mencium mushaf Al-Qur'an yang perlu diketahui oleh Yazid Jawas dan umat Wahabi lainnya.

1. Mushaf Al-Qur'an belum ada dimasa rasulullah sehingga rasulullah tidak pernah memerintahkan para sahabat untuk menciumnya.

Bukan hanya belum ada mushaf dimasa rasulullah, rasulullah pun tidak pernah memerintahkan tulisan Al-Qur'an yang tersebar untuk dibukukan menjadi mushaf. Hal itu menandakan bahwa apa yang dilakukan sahabat dalam membukukan Al-Qur'an bukan berarti sesat walau tidak ada dalilnya.

Begitupun amalan sahabat, tabi'in dan ulama salaf terdahulu walau tidak ada dalilnya didalam Al-Qur'an atau tidak pernah dilakukan oleh rasulullah atau sesuatu yang baru tidak dapat secara langsung dihukumi sesat. Tidak semua bid'ah sesat. Ada banyak bid'ah yang membawa maslahat.

2. Sayyidina Umar dan sayyidina Utman mencium mushaf Al-Qur'an kemudian diikuti oleh umat Islam kalangan mazhab Hanafi dan Hambali

ذَكَرَ الْحَنَفِيَّةُ : وَهُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ - جَوَازُ تَقْبِيل الْمُصْحَفِ تَكْرِيمًا لَهُ ، وَهُوَ الْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ ، وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ اسْتِحْبَابُهُ ، لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ : كَانَ يَأْخُذُ الْمُصْحَفَ كُل غَدَاةٍ وَيُقَبِّلُهُ ، وَيَقُول : عَهْدُ رَبِّي وَمَنْشُورُ رَبِّي عَزَّ وَجَل ، وَكَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُقَبِّل الْمُصْحَفَ وَيَمْسَحُهُ عَلَى وَجْهِهِ .

Kalangan Hanafiyyah (pendapat ini juga mashur dikalangan Hanabilah) bolehnya mencium mushaf sebagai bentuk penghormatan padanya, pendapat ini yang dijadikan madzhab dikalangan Hanabilah bahkan diriwayatkan dari Imam Ahmad akan kesunahannya berdasarkan
riwayat dari Umar ra “Adalah Umar setiap pagi mengambil mushaf dan menciumnya seraya berkata : Perjanjian dan surat dari Tuhanku ‘Azza wa Jalla”. “Adalah Utsman ra mencium mushaf dan mengusapkan pada mukanya”. [ al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah XIII/133 ].

3. Mencium mushaf merujuk pada dalil qiyas yakni mencium sesuatu yang agung atau mulia sebagaimana mencium Hajar Aswad.

Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan bahwa kesunahan mencium mushaf itu dikiaskan atau dianalogikan dengan kesunahan mencium Hajar Aswad.

 يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَفْعُلُهُ وَبِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الاَسْوَدِ ذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ وَلِأَنَّهُ هَدْيُهُ مِنَ اللهِ تَعَالَى فَشِرعَ تَقْبِيلُهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْوَلَدِ الصَّغِيرِ

“Disunahkan mencium mushaf karena Ikrimah bin Abu Jahl melakukannya, dan (dalil lain) adalah dengan dikiaskan dengan mencium Hajar Aswad sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama, dan karena mushaf Al-Qur`an merupakan anugerah dari Allah swt. Karenanya disyariatkan menciumnya seperti disunahkannya mencium anak kecil. (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulumil Qur`an, Bairut-Dar al-Fikr, juz, II, h. 458).

( ويندب كتبه وإيضاحه ) أي تبيين حروفه ، واستدل السبكي على جواز تقبيل المصحف بالقياس على تقبيل الحجر الأسود ويد العالم والصالح والوالد ، إذ من المعلوم أنه أفضل منهم

( Disunahkan menulis dan memperjelas tulisan mushaf ) Imam As-subky menarik kesimpulan akan bolehnya mencium mushaf dengan mengqiyaskan pada mencium Hajar Aswad, tangan orang Alim, tangan Orang Shalih, tangan orang tua karena sudah maklum bahwa mushaf lebih utama ketimbang semuanya. [ Tuhfah al-Habiib I/551 ].

Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz yakni tokoh Wahabi Saudi yang tentunya juga lebih senior dari Yazid Jawas, tidak melarang orang yang mencium mushaf meskipun menurut bin Baz tidak mencium lebih utama.

لَا حَرَجَ فِيْ ذَلِكَ لَكِنْ تَرْكُهُ أَفْضَلُ لِعَدَمِ الدَّلِيْلِ، وَاِنْ قَبَلَهُ فَلَا بَأْسَ. وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ أَبِيْ جَهْلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يُقَبِّلُهُ وَيَقُوْلُ “هَذَا كَلَامُ رَبِّيْ”، لَكِنْ هَذَا لَا يُحْفَظُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَلَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَفِيْ رِوَايَتِهِ نَظَرٌ، لَكِنْ لَوْ قَبَّلَهُ مِنْ بَابِ التَّعَظْيِمِ وَالْمَحَبَّةِ لَا بَأْسَ، وَلَكِنْ تَرْكُ ذَلِكَ أَوْلَى.

“Memang tidak ada dalil mencium mushaf seperti itu. Akan tetapi, jika seseorang menciumnya, tidaklah mengapa. Ada riwayat dari Ikrimah bin Abi Jahl bahwa beliau biasa mencium mushaf, lalu ia mengatakan, “ini adalah kalam Rabbku.” Akan tetapi, amalan semacam ini tidak dilakukan oleh para sahabat yang lain dan tidak pula Nabi. Dan di dalam riwayat hadits ini masih diperselisihkan. Akan tetapi, jika mencium mushaf lantaran memuliakan dan mencintainya maka tidaklah mengapa, dan tidak mengerjakannya lebih utama. (Majmu’ Fatawa Mutanawwi’ah, Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, 9/289).

Dengan demikian, mencium mushaf Al-Qur'an menurut kalangan Aswaja adalah sunnah. Walaupun Wahabi tidak melakukannya namun tidak boleh melarang umat Islam yang mencium mushaf sebab mencium mushaf ada dasarnya, sebagai bukti kecintaan dan memuliakan bukanlah perbuatan yang tercela dan sia-sia sebagaimana yang dituduhkan oleh Yazid Jawas. Mencium mushaf bukan berarti tidak mempelajari dan tidak mengamalkan isi kandungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar