Kamis, 02 Agustus 2018

Tata Krama Anak dan Orang Tua yang Berbeda Agama

Perbedaan keyakinan, dalam hal ini perbedaan agama, bukan alasan seorang anak untuk meninggalkan tata krama terhadap kedua orang tuanya. Agama Islam tidak mempersoalkan perbedaan agama sebagai alasan seorang anak untuk bersikap kurang ajar terhadap kedua orang tua.
Syekh Nawawi Banten mengatakan bahwa seorang anak sebaiknya tetap berinteraksi dengan kedua orang tuanya yang berbeda keyakinan sejauh interaksi tersebut tidak terkait dengan masalah keagamaan.
Singkatnya, Syekh Nawawi Banten mengatakan bahwa seorang anak harus bercengkerama secara hangat dengan kedua orang tuanya meskipun keduanya adalah non-Muslim pada urusan duniawi yang terlepas dari soal keyakinan dan pengamalan agama.
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﺍﻥ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﺍﻥ ﻓﺄﺩﺏ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻣﻌﻬﻤﺎ ﻣﺼﺎﺣﺒﺘﻬﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﻟﺘﻰ ﻻ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻟﺪﻳﻦ ﻣﺎ ﺩﺍﻡ ﺣﻴﺎ ﻭﻣﻌﺎﻣﻠﺘﻬﻤﺎ ﺑﺎﻟﺤﻠﻢ ﻭﺍﻻﺣﺘﻤﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﺗﻘﺘﻀﻴﻪ ﻣﻜﺎﺭﻡ ﺍﻷﺧﻼﻕ ﻭﺍﻟﺸﻴﻢ
Artinya, “Perihal kedua orang tua yang kafir, maka tata krama anak terhadap keduanya adalah berbakti kepada mereka pada masalah-masalah yang tidak terkait dengan urusan agama selama mereka masih hidup, berinteraksi dengan keduanya dengan santun dan ‘nerima’, serta apa yang sesuai dengan tuntutan akhlak dan perilaku yang mulia,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Syarah Maraqil Ubudiyyah , [Indonesia, Daru Ihya’il Kutubuil Arabaiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 89).
Sikap yang baik dan tetap menunjukkan bakti kepada kedua orang tua yang berbeda agama ini tidak lain merupakan perintah Allah SWT dalam Surat Luqman berikut ini:
ﻭَﻭَﺻَّﻴْﻨَﺎ ﺍﻟْﺄِﻧْﺴَﺎﻥَ ﺑِﻮَﺍﻟِﺪَﻳْﻪِ ﺣَﻤَﻠَﺘْﻪُ ﺃُﻣُّﻪُ ﻭَﻫْﻨﺎً ﻋَﻠَﻰ ﻭَﻫْﻦٍ ﻭَﻓِﺼَﺎﻟُﻪُ ﻓِﻲ ﻋَﺎﻣَﻴْﻦِ ﺃَﻥِ ﺍﺷْﻜُﺮْ ﻟِﻲ ﻭَﻟِﻮَﺍﻟِﺪَﻳْﻚَ ﺇِﻟَﻲَّ ﺍﻟْﻤَﺼِﻴﺮُ ﻭَﺇِﻥْ ﺟَﺎﻫَﺪَﺍﻙَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﺗُﺸْﺮِﻙَ ﺑِﻲ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﻪِ ﻋِﻠْﻢٌ ﻓَﻼ ﺗُﻄِﻌْﻬُﻤَﺎ ﻭَﺻَﺎﺣِﺒْﻬُﻤَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻣَﻌْﺮُﻭﻓﺎً
Artinya, “Kami berwasiat kepada manusia terhadap kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan amat payah dan menyapihnya dalam waktu dua tahun agar ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku tempat kembali. Jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku, sesuatu yang kamu tidak ketahui, janganlah kamu patuhi keduanya, tetapi bergaullah dengan keduanya dengan baik,’” (Surat Luqman ayat 14-15).
Tetapi secara umum, seorang anak sebaiknya memperhatikan 12 sikap ini yang dianjurkan oleh Imam Al-Ghazali terhadap kedua orang tuanya.
ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﻚ ﻭﺍﻟﺪﺍﻥ، ﻓﺂﺩﺍﺏ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻣﻊ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ : ﺃﻥ ﻳﺴﻤﻊ ﻛﻼﻣﻬﻤﺎ، ﻭﻳﻘﻮﻡ ﻟﻘﻴﺎﻣﻬﻤﺎ؛ ﻭﻳﻤﺘﺜﻞ ﻷﻣﺮﻫﻤﺎ، ﻭﻻ ﻳﻤﺸﻲ ﺃﻣﺎﻣﻬﻤﺎ، ﻭﻻ ﻳﺮﻓﻊ ﺻﻮﺗﻪ ﻓﻮﻕ ﺃﺻﻮﺍﺗﻬﻤﺎ، ﻭﻳﻠﺒﻲ ﺩﻋﻮﺗﻬﻤﺎ، ﻭﻳﺤﺮﺹ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺿﺎﺗﻬﻤﺎ، ﻭﻳﺨﻔﺾ ﻟﻬﻤﺎ ﺟﻨﺎﺡ ﺍﻟﺬﻝ، ﻭﻻ ﻳﻤﻦ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﺑﺎﻟﺒﺮ ﻟﻬﻤﺎ ﻭﻻ ﺑﺎﻟﻘﻴﺎﻡ ﻷﻣﺮﻫﻤﺎ، ﻭﻻ ﻳﻨﻈﺮ ﺇﻟﻴﻬﻤﺎ ﺷﺰﺭﺍً، ﻭﻻ ﻳﻘﻄﺐ ﻭﺟﻬﻪ ﻓﻲ ﻭﺟﻬﻬﻤﺎ، ﻭﻻ ﻳﺴﺎﻓﺮ ﺇﻻ ﺑﺈﺫﻧﻬﻤﺎ
Artinya, “Jika kau memiliki kedua orang tua, maka adab seorang anak terhadap keduanya adalah mendengarkan ucapan keduanya, berdiri ketika keduanya berdiri, mematuhi perintah keduanya, tidak berjalan di depan keduanya (kecuali terpaksa karena keadaan), tidak mengeraskan suara melebihi suara keduanya, menjawab panggilan keduanya, berupaya keras mengejar ridha keduanya, bersikap rendah hati terhadap keduanya, tidak mengungkit kebaktian terhadap keduanya atau kepatuhan atas perintah keduanya, tidak memandang keduanya dengan pandangan murka, tidak memasamkan wajah di hadapan keduanya, dan tidak melakukan perjalanan tanpa izin keduanya,” (Lihat Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah , [Indonesia, Daru Ihya’il Kutubuil Arabaiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 89).
Perbedaan agama tidak boleh menjadi alasan bagi anak untuk membenci atau menjauhi kedua orang tua. Seorang anak dapat menunjukkan bakti luar biasa kepada kedua orang tua meskipun berbeda agama. Rasulullah SAW memberikan keteladanan kepada umat Islam perihal ini dengan baktinya kepada pamannya yang mendidik dan mengasuhnya sejak kecil, yaitu Abu Thalib. Wallahu a‘lam . ( Alhafiz K)

Nu Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar